Thursday, May 31, 2007

UPAYA PENATAAN POLA BINTER

UPAYA PENATAAN KEMBALI POLA BINTER
SEJALAN DENGAN OTONOMI DAERAH


PENDAHULUAN


1. Umum. Dunia saat ini telah memasuki era global suatu kurun waktu yang ditandai oleh saling ketergantungan (interdefendensi) antar-bangsa yang semakin mendalam dan saling keterkaitan antar-masalah yang semakin erat. Berkat kemajuan-kemajuan pesat dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi komunikasi dan transportasi, dunia terasa semakin menciut dan batas-batas negara semakin kabur. Peradaban umat manusia dewasa ini tengah memulai suatu masa peralihan, suatu zaman pancaroba yang berkepanjangan dan serba tidak menentu. Sendi-sendi tatanan politik dan ekonomi internasional, yang terbentuk seusai Perang Dunia II, mulai berguguran, sedangkan suatu tatanan dunia baru masih sedang mencari bentuknya dan masih jauh dari mapan. Bangsa-bangsa, negara-negara dan lembaga internasional-pun tanpa kecuali harus menyesuaikan diri pada konstelasi global yang telah berubah dan sedang terus berubah sedemikian drastisnya.

Perubahan mendasar telah terjadi di kawasan Asia yang dilanda krisis moneter, yang selanjutnya telah membawa bangsa-bangsa di kawasan mengalami krisis ekonomi yang berkepanjangan. Indonesia tidak luput dari perubahan tersebut, terlebih krisis ekonomi telah membawa bangsa ini kepada krisis multidimensional yang pada akhirnya telah melahirkan reformasi sebagai wujud dari ketidak kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah saat itu. Reformasi telah dijadikan sebagai salah satu agenda nasional untuk melakukan perubahan-perubahan di Indonesia dengan mengedepankan masalah demokratisasi, penegakan hukum dan Hak Azasi Manusia (HAM) sesuai dengan tuntutan masyarakat saat itu. Berbagai perubahan telah dilakukan sebagai realisasi dari reformasi yang telah disepakati bersama, walaupun masih banyak kalangan yang belum puas dengan proses reformasi dan hasil yang ingin dicapai sampai dengan saat ini.

TNI sebagai salah satu komponen bangsa tidak luput dari proses reformasi dalam rangka menuju Indonesia Baru. Pemisahan TNI dan Polri serta Pembagian peran TNI dan Polri telah diatur dalam Ketetapan MPR RI yaitu nomor : VI Tahun 2000 dan Nomor : VII Tahun 2000, telah memisahkan secara tegas peran kedua institusi tersebut. Dengan adanya ketetapan MPR tersebut, sementara undang-undang dan ketentuan yang lain di bawahnya masih belum diganti dan bahkan mungkin sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi saat ini, menyebabkan prajurit TNI tidak memiliki pedoman dan seperti ada keraguan dalam bertindak. Hal ini tidak boleh terjadi dan perlu segera ditentukan jalan pemecahan yang tepat, agar prajurit TNI selaku unsur pelaksana tidak menjadi tumbal kesalahan prosedur. Menyikapi hal tersebut, TNI AD dengan unsur-unsur yang berada di jajaran pembinaannya, khususnya Satuan Teritorial ( Satter ) sebagai unsur terdepan pelaksana pembinaan teritorial yang merupakan salah satu fungsi yang masih dianggap relevan diperankan oleh TNI AD hingga saat ini, belum memiliki kewenangan yang jelas tentang tugas yang diemban berkaitan dengan masalah yang dihadapi bangsa saat ini. Pertikaian yang terjadi selama ini baik di Sampit, Maluku, Aceh maupun Irian Jaya telah menempatkan TNI pada posisi yang tidak jelas dan sangat mudah disalahkan. Belajar pada pengalaman dalam menghadapi pertikaian antar etnis di Sampit, Kalteng beberapa waktu lalu, tulisan ini mencoba untuk mencari dan menemukan kewenangan apa yang perlu dimiliki Satter dalam menghadapi keadaan darurat di wilayah, dihadapkan pada kemungkinan perkembangan di masa depan.

2. Maksud dan Tujuan.

a. Maksud. Memberikan gambaran tentang penataan kembali pola Binter di masa depan sejalan dengan telah dilaksanakannya otonomi daerah di Indonesia.

b. Tujuan. Memberi masukan kepada pimpinan dalam menentukan kebijaksanaan lebih lanjut untuk merumuskan pola Binter dimasa mendatang, dihadapkan pada pengalaman selama ini, tuntutan keadaan, kemungkinan ancaman dan permasalah hukum yang ada saat ini.

3. Ruang Lingkup dan Tata Urut. Lingkup penulisan ini meliputi kasus kerusuhan antar etnis yang terjadi di Kalteng, hal-hal yang melatar belakangi munculnya kerusuhan, masalah Binter yang muncul sebelum dan saat kerusuhan dan analisis peran dihadapkan dengan perkembangan situasi saat ini dan prediksi masa depan, dengan tata urut sebagai berikut :

a. Pendahuluan
b. Kondisi Wilayah Kalimantan Tengah.
c. Latar Belakang Terjadinya Kerusuhan Antaretnis.
d. Masalah-masalah Dalam Pelaksanaan Binter Saat Kerusuhan Antaretnis.
e. Peran Koter Dalam Mengatasi Kerusuhan Antaretnis.
g. Analisis Peran Koter Dalam Binter Selanjutnya.
h. Kesimpulan dan Saran.
i. Penutup.

4. Metoda dan Pendekatan. Tulisan ini menggunakan metode pendekatan diskriptif analisis dengan pendekatan pengamatan dan pengalaman langsung dilapangan.

5. Pengertian. Dalam rangka memberikan pemahaman yang lebih baik terhadap beberapa istilah yang digunakan dalam tulisan ini, dapat dibaca pada lampiran pengertian dari tulisan ini.

KONDISI WILAYAH KALIMANTAN TENGAH


6. Umum. Kalimantan Tengah dikenal sebagai wilayah propinsi yang memiliki luas wilayah daratan ke tiga di Indonesia setelah Irian Jaya dan Kalimantan Barat atau hampir satu setengah kali pulau Jawa. Wilayah yang demikian luas ersebut tentu memiliki kekhasan tersendiri yang sangat berbeda dengan daerah lain di Indonesia. Kekhasan wilayah Kalteng akan memberikan pengaruh yang berbeda pada metoda pembinaan yang dilaksanakan di wilayah ini. Hal ini senada dengan wahana demokratisasi yang sedang bertiup saat ini, dimana kebebasan dalam keberagaman sangat dijunjung tinggi. Sejauh mana keberagaman tersebut memberikan nuansa perbedaan dengan daerah lain di Indonesia, sehingga melahirkan metode berbeda dalam penentuan kebijaksanaan di masa depan akan di bahas dalam uraian berikut ini.

7. Kondisi Geografi. Secara geografi Kalteng berada pada sekitar 0o 45’ LU sampai dengan 3o 30’ LS dan 110o 47’ 11” BT sampai dengan 115o 45’ BT. [1] Batas wilayah Kalteng yaitu disebelah Utara adalah Propinsi Kalbar dan Propinsi Kaltim, sebelah Timur adalah Propinsi Kaltim dan Propinsi Kalsel, sebelah Selatan adalah adalah Propinsi Kalsel dan Laut Jawa, sedangkan sebalah Barat adalah propinsi Kalbar. Luas Kalteng sekitar 153.564 Km2 terdiri dari lima wilayah Kabupaten dan satu Kota sebagai berikut ; Pertama, Kabupaten Kuala Kapuas dengan luas 34.800 Km2 terbentang dari laut Jawa di selatan sampai ke Pegunungan Muller dan Schwaner disebelah Utara dengan panjang sekitar 400 km dan lebar sekitar 85 km. Kedua,Kabupaten Barito Selatan (Barsel) dengan luas 12.664 Km2 dengan panjang rata-rata sekitar 120 Km dan lebar rata-rata sekitar 110 Km. Ketiga, Kabupaten Barito Utara (Barut) dengan luas 32.000 Km2 dengan panjang rata-rata sekitar 200 Km dan lebar rata-rata sekitar 160 Km. Keempat, Kabupaten Kotawaringin Barat (Kobar) dengan luas 21.000 Km2 terbentang dari laut Jawa di selatan sampai ke Pegunungan Muller dan Schwaner disebelah Utara dengan panjang rata-rata sekitar 205 km dan lebar rata-rata sekitar 105 km. Kelima, Kabupaten Kotawaringin Timur (Kotim) dengan luas 50.700 Km2 terbentang dari laut Jawa di Selatan sampai ke Pegunungan Muller dan Schwaner disebelah Utara dengan panjang rata-rata sekitar 255 km dan lebar rata-rata sekitar 205 km. Keenam, Kota Palangka Raya dengan luas 2.400 Km2, panjang rata-rata sekitar 60 Km dan lebar rata-rata sekitar 45 Km. [2]

Kondisi permukaan terdiri dari 82,18 % hutan tropis, rawa-rawa 11,80 %, sungai / danau dan genangan lainnya 2,97 % dan pemukiman serta peruntukan lainnya 3,08 %. [3] Sebagian besar hutan Tropis yang ada di Kalteng masih perawan dan sebagian lagi telah dijamah manusia tanpa upaya pelestarian yang maksimal. Kondisi tanah Kalteng terdiri dari pasir putih mulai dari laut Jawa sampai ke lereng Peg. Muller dan Schwaner, tanah gambut ditemui mulai perbatasan Kalsel sampai Palangka Raya dan tanah merah di sekitar lereng Peg. Muller dan Schwaner berbatasan dengan Kalbar dan Kaltim. Pemanfaatan lahan gambut sangat terbatas dan bahkan mungkin untuk jangka panjang sulit dimanfaatkan, karena belum diketemukan teknologi yang tepat untuk itu. Lahan yang terdiri dari tanah merah sebagian sudah dimanfaatkan untuk perkebunan.

Sementara itu lahan yang terdiri dari pasir putih secara umum masih belum produktif, sehingga tinggal dalam bentuk semak belukar dan hal ini sangat rawan kebakaran pada musim kemarau. Pada saat musim hujan untuk lahan yang terdiri dari gambut dan pasir putih tergenang air sehingga berubah menjadi rawa-rawa. Pada musim kemarau lahan ini dimanfaatkan untuk bercocok tanah menjelang musim hujan. Permasalahannya adalah kebiasaan masyarakat yang membakar semak belukar di lahan tersebut untuk menyuburkan tanah disamping sangat ekonomis karena tidak membutuhkan biaya yang besar. Namun di sisi lain pembakaran semak belukar tersebut setiap tahun telah menimbulkan asap di seluruh Kalteng, sehingga menimbulkan polusi yang menggangu kesehatan masyarakat dan transportasi di Kalteng.

Transportasi utama di Kalteng adalah melalui sungai yang dapat dilayari sampai ratusan kilo meter kepedalam dengan kapal dan perahu sampai bobot mulai 1 s/d 20 ton. Sungai besar yang merupakan sarana transportasi utama sebanyak sebelas sungai dengan ribuan cabang-cabangnya pada musim hujan dapat dilalui sampai kepedalaman. Pada musim kemarau air sungai surut, sehingga mengganggu pengangkutan sembilan bahan pokok (sembako) masyarakat ke pedalaman. Terhadap wilayah yang tidak terjangkau pengangkutan karena surutnya air, dilakukan dengan cara memindahkan ke perahu kecil (klotok), selanjutnya di bawa ke hulu. Hal ini selain lama dan juga sedikit sembako yang dapat terangkut. Alternatif lain seperti melewati darat belum memungkinkan karena belum tersedia sarana transportasi darat. Nama sungai besar sesuai tabel : 2 ( daftar sungai di Kalteng ). [4]

Sarana transportasi darat yang ada berupa jalan sepanjang 6.819,01 km baru sekitar 1.375,64 km atau 20,17 % yang sudah diaspal, sedangkan lainnya masih berupa jalan diperkeras dan kondisinya mudah rusak. [5] Prasarana transportasi darat yang utama dan sudah di aspal ada dua bagian yaitu poros selatan yang menghubungkan Banjarmasin di Kalsel - Kapuas - Palangka Raya - Sampit, Pangkalan Bun selanjutnya ke Ketaapang, Kalbar. Sedangkan yang satu lagi adalah poros jalan yang menghubungkan Marabahan ( Kalsel) - Buntok - Muara Teweh. Ruas jalan yang belum diaspal pada saat hujan maupun kemarau tidak bisa dilalui kendaraan roda empat dan sebagian besar akan rusak parah. Permasalahan utama pada jalan darat adalah badan jalan yang terdiri dari pasir, sehingga mudah rusak baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau.

Prasarana transportasi udara di Kalteng telah tersedia lapangan terbang di setiap kabupaten kecuali Kab. Kuala Kapuas. Sebanyak delapan buah lapangan terbang terdiri dari satu buah milik PT. Idomuro Kencana (IMK) dan tujuh buah milik pemerintah. Dari tujuh buah milik pemerintah hanya lima yang berfungsi dan dua lain tidak difungsikan, karena tidak efisien selama krisis saat ini. Sedangkan dari lima yang berfungsi yang melayani penerbangan antar kota dan memiliki akses keluar Kalteng hanya tiga buah sedangkan dua buah hanya melayani penerbangan antar dua kabupaten. Jenis pesawat yang mengunjungi Bandara Cilik Riwut di Palangka Raya adalah jenis Foker dari PT. Merpati Nusantara dengan penerbangan Palangka Raya - Jakarta selama enam hari setiap minggu. Sedangkan penerbangan antarkota menggunakan penerbangan dari PT. DAS dengan jenis pesawat DAS-7. [6]

8. Kondisi Demografi. Secara demografi wilayah Kalteng berpenduduk sekitar 1.822.515 jiwa terdiri dari laki-laki 928.211 jiwa dan perempuan 894.304 jiwa dengan kepadatan rata-rata sekitar 11 jiwa per kilo meter persegi. Penyebaran penduduk tidak merata, sebagian besar berada di kota-kota dan sepanjang pinggiran sungai. Komposisi penduduk dilihat dari agama yang dianut terdiri dari Islam sekitar 1.237.034 jiwa atau 71,11 %, Protestan sekitar 247.201 jiwa atau 14,21 %, Hindu Kaharingan sekitar 200.375 jiwa atau 11,52 %, Katolik sekitar 49.534 jiwa atau 2,85 %, Budha sekitar 5.397 jiwa atau 0,31 % dan lain-lain sekitar 149 jiwa atau 0,10 %.[7]

Komposisi etnis Dayak yang berada di Kalteng terdiri dari Dayak Kapuas berdiam disepanjang DAS Kahayan, Dayak Katingan berdiam di sepanjang DAS Katingan, Dayak Out Danum berdiam di hulu Sungai Barito, hulu sungai Kapuas dan hulu sungai Kahayan, Dayak Manyan berdiam di bagian Timur Kab. Barito Selatan sedangkan Dayak Bawo dan Tabuyan berdiam di sebelah Selatan dan Barat Kab. Barito Selatan. Sedangan komposisi etnis pendatang yang ada di Kalteng diperkirakan sebagai berikut ; etnis Jawa sekitar 20 %, etnis Banjar sekitar 16 %, etnis Madura sekitar 8 % dan etnis lainnya sekitar 11 %. Setelah kerusuhan antaretnis diperkirakan etnis Madura yang mengungsi keluar Kalteng sekitar 100.000 jiwa lebih dan saat ini yang masih bertahan di Kab. Kobar sekitar 45.000 jiwa lebih.

Akibat dari pertikaian antaretnis tersebut yang menyebabkan etnis Madura mengungsi dari Kalteng telah menimbulkan kekurangan tenaga kerja di Kalteng, terutama lapangan pekerjaan yang menjual jasa seperti di perusahaan kayu, kuli pelabuhan dan lain-lain. Di sisi lain masyarakat etnis lokal kurang berminat dalam lapangan pekerjaan penjual jasa seperti kuli pelabuhan, pengemudi becak dan pekerjaan kasar lainnya. Kekurangan tenaga pekerja tersebut selama ini diisi oleh etnis Banjar dari Kalsel. Sementara itu kualitas sumber daya manusia Kalteng dilihat dari aspek pendidikan dan kesehatan relatif masih rendah. Hal ini disebabkan oleh karena masih rendahnya kualitas sarana dan prasarana pelayanan kesehatan dan pendidikan yang ada di Kateng.

9. Kondisi Kekayaan Alam. Kekayaan alam Kalteng yang utama adalah hasil hutan dan hasil tambang serta budidaya tanaman serta peternakan dan perikanan. Hasil hutan yang menonjol adalah Kayu dan hasil hutan ikutan seperti getah-getahan, rotan, sarang burung dan lain-lain merupakan mata pencaharian utama masyarakat serta menjadi komoditi ekspor dan harapan pemasukan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bagi Pemda Kalteng. Luasnya hutan di Kalteng telah mengundang investor lokal, luar daerah dan luar negeri untuk berusaha di Kalteng di bidang pengumpulan hasil hutan terutama kayu. Banyaknya perijinan yang diberikan oleh pemerintah pusat dalam bentuk Hak Pengelolaan Hutan (HPH) terhadap perusahaan besar asing maupun luar daerah telah menguras hasil hutan sedemikian rupa, sehingga sebagian besar hutan yang lokasinya dekat dengan sungai dan pemukiman telah menjadi gundul. Berkurangnya hutan di sekitar pemukiman dan sungai menyebabkan masyarakat mulai kehilangan lapangan pekerjaan dan mulai mencari hasil hutan di kawasan hutan yang dilindungi oleh pemerintah. Hal ini telah memunculkan istilah baru bagi masyarakat yang hidup dari hasil hutan dengan sebutan penebang liar (Bangli) yaitu menebang hutan di areal yang dilindungi, maupun areal HPH milik perusahaan besar yang ada di Kalteng. Kegiatan Bangli saat ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat tetapi juga oleh kelompok pengusaha yang bertindak sebagai cukong pengumpul hasil Bangli tersebut. Kegiatan melangar hukum ini makin marak terjadi beberapa waktu terakhir ini. Beberapa tahun terakhir ini terjadi peningkatan hasil hutan di Kalteng dari berbagai jenis kayu yaitu pada tahun 1994/1995 sebanyak 3.486.364,34 m3, pada tahun 1995/1996 sebanyak 3.000.10,56 m3, pada tahun 1996/1997 sebanyak 4.535.352,56 m3 dan pada tahun 1997/1998 sebanyak 4.216.512,75 m3. [8] Meningkatnya hasil hutan Kalteng tidak terlepas dari banyaknya warga pendatang ke Kalteng dari luar Kalteng mengadu nasib pada sektor pengolahan hasil hutan. Hal ini telah menimbulkan kerawanan, sebah masyarakat pendatang tidak terdata dengan baik, tetapi sebaliknya ada dimana-mana di dalam hutan dengan jumlah yang tidak pernah diketahui secara pasti.

Sementara itu di bidang pertambangan yang menonjol adalah penambangan emas dan hasil tambang galian-C. Masyarakat Kalteng sudah terbiasa hidup dari pola pertambangan emas yang disebut dengan penambang tradisional. Walaupun demikian sebenarnya para penambang masyarakat ini, telah menggunakan peralatan yang cukup modern berupa mesin penyedot lumpur atau pasir dan bahan kimia seperti air raksa untuk mempermudah dalam usaha. Beribu-ribu lanting (perahu kecil untuk menambang emas di sungai) ada di sepanjang sungai-sungai di Kateng. Banyaknya penambang masyarakat yang beroperasi di sungai telah menimbulkan kekhawatiran yaitu polusi yang ditimbulkan oleh pembuangan sisa olahan air raksa ke dalam sungai. Berdasarkan hasil riset oleh pihak Unipersitas Palangka Raya (Unpar) sebagian besar sungai di Kalteng telah tercemar zat kimia air raksa, walaupun belum pada tahap membahayakan. Berdasarkan data yang ada perusahaan besar yang beroperasi di Kalteng di sektor pertambangan mengalami penurunan dari tahun ke tahun, khususnya penambangan emas. Tetapi sebaliknya terjadi peningkatan pada penambangan galian-C. Pada tahun 1988 s/d 1990 jumlah perusahaan yang beroperasi baik penyelidikan umum, eksplorasi maupun eksploitasi sekitar 208 s/d 140 perusahaan. Pada tahun 1991 s/d 1995 mengalami pengurangan sangat drastis sehingga menjadi antara 76 s/d 61 perusahaan. Sedangkah pada tahun 1996 s/d 1999 terus merosot tajam sampai dengan 47 s/d 13 perusahaan. [9]

Pada pertambangan galian C yang menonjol adalah pasir kuarsa dan batu hanya untuk kepentingan lokal. Di masa depan pasir kuarsa dapat menjadi komoditas ekspor yang potensial mengingat sebagian besar wilayah Kalteng terdiri dari pasir kuarsa. Perusahaan yang memiliki ijin beroperasi di Kalteng pada tahun 1998 s/d 1991 sebanyak 33 s/d 82 perisahaan. Pada tahun 1992 s/d 1995 sebanyak 98 s/d 117 perusahaan dan pada tahun 1996 s/d 1999 sebanyak 121 s/d 93 perusahaan. [10]

Sektor lain yang menonjol adalah pada pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan lain-lain. Khusus pada sektor perkebunan terutama kelapa sawit telah memberi harapan besar dalam pemasukan PAD di kemudian hari. Berhasilnya beberapa perusahaan besar dalam mengelola perkebunan kelapa sawit dan telah dibangunnya pengolahan minyak kelapa sawit di Kalteng telah membuka lapangan kerja yang banyak bagi masyarakat. Di samping telah dibangunnya pabrik pengolahan, juga akan dibangun pelabuhan tempat pengiriman crude palm oil (CPO) dari Kalteng ke tujuan pengolahan berikutnya. Luasnya lahan perkebunan kelapa sawit yang dialokasikan oleh Pemda Kalteng akan banyak menyerap lapangan pekerjaan mulai dari penanaman sampai dengan pengolahan.

10. Kondisi Sosial. Sebelum kerusuhan antar etnis terjadi, Kalteng merupakan wilayah propinsi yang sangat stabil dari aspek keamanan. Kondisi tersebut menjadi kebanggaan masyarakat Kalteng selama beberapa tahun terakhir. Sejalan dengan perkembangan situasi nasional, terlebih setelah diberlakukannya Otonomi Daerah yang telah memunculkan ego kedaerahan, maka terjadi perubahan paradigma dalam cara pandang masyarakat. Otonomi dianggap sebagai lepasnya kontrol pusat terhadap daerah yang selama 32 tahun merasa tanpa kebebasan. Implikasi dari cara pandang tersebut telah menimbulkan eforia kebebasan dalam masyarakat yang diekspresikan dalam bentuk penolakan terhadap sesuatu yang dianggap mencampuri urusan daerah. Bahkan lebih dari itu terhadap apapun yang telah dianggap merendahkan harkat kedaerahan telah dianggap sebagai lawannya. Dalam aspek sosial masyarakat Kalteng diketengahkan data sebagai berikut ;

Pertama, secara ideologi masyarakat Kalteng masih mengakui NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, tetapi tindakan masyarakat yang berlebihan dalam mengekspresikan kebebasan tidak mencerminkan hakekat dari jiwa Pancasila. Termasuk dalam hal ini tindakan untuk mengusir etnis Madura dari kalteng sungguh merupakan tindakan yang sangat mengingkari nilai luhur dari Pancasila. Kedua, pada aspek politik masyarakat telah berani mengekspresikan diri dan pendapatnya di muka umum dalam bentuk kegiatan unjuk rasa dan lain sebagainya. Sejalan dengan kemajuan di daerah lain di Kaltengpun kebebasan berpolitik sangat dirasakan masyarakat. Pelaksanaan Pemilu tahun 1997 berjalan dengan baik tanpa ada permasalahan yang berarti dalam pelaksanaannya. Peserta Pemilu di Kalteng tercatat sebanyak 38 partai politik dengan perolehan suara terbesar pada Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hal yang menonjol dari aspek politik adalah adanya tuntutan sekelompok masyarakat untuk mengedepankan isu putra daerah dalam segala strata kehidupan. Hal ini lebih diperburuk lagi dengan adanya isu politik uang pada setiap pemilihan kepala daerah di Kalteng beberapa waktu yang lalu. Kedua hal ini telah mewarnai kehidupan politik Kalteng dalam beberapa waktu terakhir ini. Ketiga, Pada sektor perekonomian secara umum tidak terpengaruh oleh krisis yang terjadi di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh sebagaian besar masyarakat hidup dari hasil hutan dan pertambangan emas yang selama krisis ini sangat diuntungkan, karena harga kayu dan emas sangat tergantung pada nilai tukar dollar terhadap rupiah. Di sisi lain banyak perusahaan besar yang gulung tikar, karena masalah perijinan yang lebih ketat dalam usaha penebangan kayu, sehingga mengurangi lapangan pekerjan. Sementara itu membaiknya nilai tukar Rupiah terhadap dollar AS telah mempengaruhi penghasilan masyarakat yang sebagian besar hidup dari hasil hutan dan pertambangan. Kedua hal diatas dapat berpengaruh pada daya beli masyarakat terhadap berbagai komoditas yang sebagian besar didatangkan dari luar. Secara umum harga kebutuhan bahan pokok di Kalteng relatih lebih mahal dari pada daerah lain di luar Kalteng, terlebih di daerah pedalaman yang sangat sarat dengan kendala distribusi sembako tersebut. Keempat, dari aspek sosial budaya, masyarakat Kalteng sebenarnya memiliki nilai tradisi yang sangat tinggi yaitu Rumah Betang atau Rumah Besar, yang memiliki arti dapat menerima seluruh pendatang yang masuk ke Kalteng. Kondisi ini telah terbukti beberapa puluh tahun Kalteng dalam keadaan stabil dari aspek sosial.

Permasalahannya adalah banyaknya masyarakat pendatang yang masuk ke Kalteng, karena memiliki potensi yang besar pada sektor perekonomian, tidak diimbangi dengan upaya pembinaan masyarakat secara lebih intensif. Pada sektor perekonomian yang sarat dengan permasalahan sosial seperti di pertambangan dan penebangan hasil hutan, karena kurangnya pembinaan masyarakat dan tuntutan hidup yang relatif keras dan penuh tantangan tersebut telah melahirkan pola hukum rimba dalam kehidupan masyarakat. Selain itu penyakit sosial seperti tindak kriminal, perjudian, pelacuran, peredaran Narkoba, peredaran VCD porno, perdagangan minuman keras tumbuh subur di wilayah pedalaman. Kelima, dari aspek Hankam, yang menonjol di Kalteng adalah sedikitnya personil keamanan, baik dari TNI maupun Polri dihadapkan ada luas wilayah dan penyebaran penduduk yang tidak merata. Luas wilayah sekitar satu setengah kali pulau Jawa terbagi dalam lima pemerintahan kabupaten dan kota, hanya tersedia masing-masing untuk Polri terdiri dari satu Polda dan enam Polres serta satu satuan Brimob. Unsur TNI terdiri dari satu Korem, enam Kodim dan satu yonif. Di samping itu ada unsur Pangkalan TNI AU di Kab. Kobar. Sementara itu permasalahan sosial yang terjadi di Kalteng seiring pesatnya pembangunan saat ini dan perkembangan masyarakat, maka kondisi personil pengamanan yang ada baik Polri maupun TNI masih jauh dari memadai.


LATAR BELAKANG TERJADINYA KERUSUHAN
ANTAR ETNIS DI KALTENG


11. Umum. Konflik antaretnis yang terjadi di Kalteng sudah berlangsung ratusan tahun yang lalu. Pada awalnya konflik dilatar belakangi oleh kepercayaan yang berkembang di masyakat berkaitan dengan adanya anggapan, bahwa untuk menyenangkan roh para leluhur, maka harus dipersembahkan kepala manusia sebagai simbul dari para budak yang akan melayani roh para leluhur mereka di alam sana. Dari kepercayaan tersebut muncul kebiasaan untuk mencari kepala manusia dari suku lain ( dari DAS lain ), hal ini telah memicu terjadilah perang antaretnis. Perkembangan selanjutnya setelah kedatangan etnis lain di Kalteng, konflik lebih bersifat pribadi karena dilatarbelakangi oleh masalah kriminal dan sentimen kesukuan dan lain sebagainya.

Konflik tersebut berkembang menjadi pertikaian setelah adanya intervensi birokrasi dan institusi lainnya dalam kehidupan adat masyarakat Dayak. Intervensi birokrasi dalam penegakan hukum sebagai konsekuensi dari kehidupan bernegara telah mengesampingkan hukum adat. Di sisi lain penegakan hukum terhadap berbagai kasus pelanggaran yang terjadi tidak pernah tuntas, sehingga terjadi kekosongan dalam pelaksanaan penegakan hukum baik hukum positif maupun hukum adat, khususnya terhadap warga pendatang dari etnis Madura. Hal inilah yang dirasakan sebagai ketidak adilan oleh warga etnis Dayak.

12. Latar Belakang Sejarah. Pertikaian antar suku ( antar suku Dayak yang mendiami DAS tertentu dengan DAS yang lainnya ) di Kalteng telah terjadi beratus-ratus tahun yang lalu. Berawal dari adanya kepercayaan untuk mencari kepala manusia “ngayau” dengan cara magis yang akan dipersembahkan kepada roh para leluhur. Masyarakat etnis Dayak percaya bahwa makin banyak memberikan persembahan kepala manusia kepada para leluhur, maka makin tinggi nilai kewajiban yang telah diberikan kepada para leluhur. Kebiasaan ngayau di masa lalu mencari kepala manusia dari daerah lain atau DAS lainnya. Dari kebiasaan tersebut maka berkembanglah konflik antar kelompok masyarakat yang mendiami satu DAS dengan DAS lainnya. Puncak konflik antar suku terjadi sekitar tahun 1800-an karena terjadi perang antar suku besar-besaran yang diakhiri dengan musyawarah perdamaian bersejarah Tumbang Anoi tahun 1882. Dalam musyawarah tersebut disepakati bahwa tidak boleh lagi terjadi saling menyerang dan hal ini telah menghilangkan kebiasaan ngayau di masyarakat. Sejak itu tidak pernah timbul pertikaian antar suku dan kebiasaan ngayau mulai berkurang dan musyawarah tersebut sangat ditaati oleh masyarakat Dayak Kalteng.

Kehadiran masyarakat pendatang dari etnis lain di Indonesia baik sebelum Indonesia merdeka maupun setelah merdeka diterima oleh masyarakat etnis Dayak dengan baik dan dapat hidup saling berdampingan. Banyak diantara mereka telah mengalami pembauran, sehingga telah melahirkan generasi baru campuran antara etnis Dayak-dengan etnis lainnya termasuk etnis Madura yang telah puluhan tahun lahir dan tinggal serta hidup di Kalimantan. Setelah pertikaian antar etnis di Kalbar meletus tahun 1997, terjadi peningkatan pendatang dari luar Kalteng yang masuk ke Kalteng, khususnya dari etnis Madura.

Di beberapa daerah seperti Kab. Kotim dan Kab. Kobar, Kab. Kuala Kapuas dan Kota Palangka Raya peningkatan kehadiran etnis Madura sangat terasa, terutama di perkotaan dan menguasai lapangan pekerjaan kegiatan jual jasa di pasar, pelabuhan dan pengemudi becak serta lapangan pekerjaan kasar lainnya. Kehadiran etnis Madura pada sektor tersebut telah menimbulkan konflik karena telah mengambil alih lapangan pekerjaan dengan cara yang kasar dan penuh intimidasi. Hal ini menyebabkan bukan saja etnis Dayak yang tersingkir termasuk etnis lainnya kalah dalam persaingan tidak sehat tersebut. Karena tersingkir dari kampung halamannya etnis Dayak merasa harkat dan harga dirinya telah direndahkan dan di injak-injak oleh etnis Madura, sehingga muncul gerakan untuk mengusir etnis Madura dari Kalteng. Berbagai kejadian telah mengawali ketidak senangan etnis Dayak kepada etnis Madura, seperti kasus pengusiran dari Kec. Tumbang Samba, Kab. Kotim pada bulan September 1999 dan dari Kec. Kasongan, Kab. Kotim pada bulan Desember 2000. Semua kasus pengusiran tersebut telah menggunakan cara tradisional ngayau, sehingga mengulang sejarah masa lalu perang antar suku yang pernah terjadi di Kalteng, walaupun sasaran kali ini adalah etnis Madura.

13. Latar Belakang Sosial Budaya. Masyarakat Kalteng memiliki budaya “Rumah Betang” atau budaya “sebelas aliran sungai yang bermuara di laut selatan”. Apapun istilahnya budaya tersebut memberikan nilai tinggi untuk menerima siapapun yang datang di Kalteng, dari manapun asalnya dan apapun latar belakangnya. Di lain pihak para pendatang sesuai dengan budaya “Rumah Betang” tersebut, dituntut harus mampu menyesuaikan diri dengan adat istiadat yang berlaku di dalamnya. Sejarah Kalteng telah mencatat setelah musyawarah perdamaian Tumbang Anoi, masyarakat Kalteng tidak lagi melakukan kebiasaan ngayau dan hal ini sangat ditaati dalam waktu yang sangat panjang. Kedatangan masyarakat luar Kalteng ke Kalteng telah diterima dengan baik dalam suasana hidup damai dan saling menghargai. Di sisi lain kedatangan warga masyarakat dari etnis lain di Kalteng juga mampu menyesuaikan diri dengan budaya dan adat istiadat setempat. Lain halnya dengan etnis Madura, kehadirannya di Kateng telah memberikan nuansa lain terhadap hubungan baik antar etnis yang ada dan telah dirasakan oleh etnis pendatang lainnya. Dari berbagai kasus sosial seperti kriminal, perebutan lapangan pekerjaan, penguasaan hak milik masyarakat secara paksa, dan berbagai tingkah laku buruk dari etnis Madura, telah memberikan warna baru hubungan antara etnis Dayak dengan etnis Madura dan etnis lainnya.

Etnis pendatang lainnya selain mampu mengelola konflik yang terjadi dengan etnis Dayak, sebaliknya etnis Dayak mendapat keuntungan atas kehadiran etnis pendatang tersebut. Di lain pihak kehadiran etnis Madura telah menimbulkan konflik yang berkepanjangan baik dengan etnis Dayak maupun dengan etnis lainnya di Kalteng. Konflik tersebut bersumber pada perbedaan kultur, adat istiadat dan sifat yang dimiliki dalam bersosialisasi antar satu dengan yang lainnya. Secara umum perbedaan tersebut terletak pada : 11

a. Etnis dayak memiliki adat istiadat sebagai berikut :
1) Kehidupan masih tradisional.
2) Motivasi untuk maju telah menunjukan perkembangan positif.
3) Lugu dan jujur.
4) Menerima dan bersahabat terhadap pendatang.
5) Keras terhadap hal prinsip dan adat.
6) Kerukunan tinggi.
7) Beragama Kaharingan, Katolik, Protestan dan Islam.

b. Etnis Madura memiliki adat istiadat sebagai berikut :
1) Ulet dalam bekerja.
2) Mempunyai sifat pendendam.
3) Mempunyai harga diri yang tinggi.
4) Fanatik Islam.
5) Lebih patuh pada pimpinan agama.
6) Mempunyai kebiasaan membawa celurit.
7) Keras dan mudah tersinggung.
8) Hidup eksklusif dalam satu etnis.

Dengan perbedaan yang mendasar tersebut telah menimbulkan image dalam warga masyarakat etnis Dayak, bahwa warga etnis Madura telah menguasai wilayah masyarakat Dayak. Dengan sifat, adat istiadat dan kultur yang dimiliki warga etnis Madura tersebut telah menimbulkan rasa sakit hati dalam diri masyarakat etnis Dayak dan juga pada warga etnis lainnya. Bagi masyarakat etnis Dayak yang merasa Kalteng adalah tanah kelhirannya sendiri, dengan kehadiran etnis Madura yang memiliki sifat, adat istiadat dan kultur seperti tersebut diatas, telah menimbulkan rasa sakit hati dan kebencian yang mendalam karena merasa harkat dan martabatnya telah diinjak-injak.

14. Latar Belakang Penegakan Hukum. Perjanjian “Tumbang Anoi” bagi masyarakat etnis Dayak merupakan cerminan, kalau warga etnis Dayak memiliki ketaatan terhadap hukum yang sangat baik. Hukum adat sangat dihargai dan telah memberikan perkembangan positif bagi yang berhasil melaksanakannya. Tidak jarang bagi warga yang telah melanggar hukum adat seperti membunuh, mencuri dan lain sebagainya, setelah membayar hukum adat sesuai ketentuan, maka yang bersangjutan dapat diangkat menjadi keluarga pihak korban. Begitu besarnya ketaatan warga etnis Dayak pada hukum, sehingga timbul kesan pasrah dan mengalah bila berhadapan dengan hukum positif yang penuh proses birokrasi yang berbelit. Di lain pihak warga etnis Madura yang beberapa tahun terakhir masuk ke Kalteng memiliki ketaatan hukum yang sangat rendah. Berdasarkan pengalaman selama ini ada kecenderungan mereka menganggap hukum sebagai sesuatu yang harus dilanggar. Hal ini terlihat dari beberapa kasus yang terjadi, baik berkaitan dengan masalah kriminal maupun dalam kehidupan sehari-hari lainnya. Banyak kasus pembunuhan yang pelakunya sudah dapat dipastikan dari etnis Madura, tetapi tidak pernah tertangkap. Apabila ada yang tertangkap tidak beberapa lama akan dilepas dengan jaminan dan jarang diselesaikan di pengadilan. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut : Pertama, ada indikasi keterlibatan elite atas dari etnis Madura yang tergabung dalam peguyuban Ikatan Keluarga Madura (IKAMA) dalam membantu warganya yang melakukan tindak kriminal untuk lolos dari hukuman. Berkembang isu dalam masyarakat, bahwa untu dapat lolos dari hukuman, seseorang harus membayar sejumlah uang yang didapat dari iuran warga etnis Madura kemudian disetor kepada pengurus IKAMA. Pengurus IKAMA inilah yang melakukan transaksi kepada aparat penegak hukum dalam rangka membebaskan warga etnis Madura yang melakukan tindak kriminal. Kedua, ada indikasi keterlibatan dari elit kelompok etnis Madura, baik yang tergabung dalam IKAMA maupun mereka yang memiliki pengaruh di birokrasi, TNI dan Polri untuk melindungi pelaku kriminal, sehingga sangat jarang tertangkap, walaupun pelakunya sudah jelas dilakukan oleh etnis Madura. Sementara itu korban dari etnis lain termasuk etnis Dayak hanya bisa menanggung derita tanpa ada yang memantu. Ketiga, aparat penegak hukum mulai dari Kepolisiaan, Kejaksaan dan Pengadilan telah cukup lama dicurigai oleh masyarakat luas dan telah menjadi rahasia umum, bahwa untuk kasus hukum tertentu terutama menyangkut etnis Madura dapat diselesaikan dengan sejumlah uang. Kondisi ini telah menyebabkan masyarakat etnis Dayak merasa diperlakukan tidak adil dan menjadi korban oknum penegak hukum dan prilaku etnis Madura. Meletusnya kerusuhan antar etnis Dayak dan etnis Madura di Sampit, Kalteng tidak terlepas dari adanya upaya dari sebagian warga etnis Dayak untuk menuntut keadilan dan kesamaan di depan hukum. Permasalahannya adalah tuntutan tersebut dilakukan dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan hakekat dan martabat kemanusiaan yang beradab dalam wadah Negara Kesatuan RI yang berdasarkan Pancasila.

15. Latar Belakang Penyelenggaraan Pemerintahan. Sentralisasi pelaksanaan pemerintahan di masa lalu, khususnya berkaitan dengan kewenangan yang berada di pusat telah dirasakan oleh pemerintah daerah sebagai ketidakadilan. Seluruh sumber daya alam yang berada di daerah secara langsung dikuasai oleh pusat dan daerah hanya mendapatkan sebagian kecil dari hasil eksploitasi sumber daya alam tersebut. Hutan dan emas sebagai primadona Kalteng dikuasai oleh pemerintah pusat dengan melibatkan investor dari PMA dan dari luar Kalteng. Segala bentuk perijinan seperti Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dan Kontrak Perjanjian Penambangan PT. Indomuro Kencana (IMK), sebagai implementasi dari kewenangan yang dimiliki oleh pusat tanpa memperhatikan aspirasi masyarakat di daerah. Masyarakat di daerah hanya bisa menonton keserakahan para investor membawa sumber daya alam ke luar Kalteng dengan hanya menyisakan sedikit makan kepada masyarakat untuk sekedar bisa bertahan hidup.

Hal yang lebih menyakitkan dengan adanya ketentuan formal dalam bentuk perundang-undangan maupun peraturan lainnya, ternyata masyarakat Kalteng telah mendapat predikat menjadi pencuri dirumahnya sendiri. Mata pencaharian sebagai penambang emas yang sudah turun temurun ditekuni, kini menjadi illegal dengan sebutan sebagai penambang tanpa ijin (PETI).
Demikian juga kehidupan sebagai pencari hasil hutan yang telah digeluti secara turun temurun dari nenek moyangnya, juga menjadi illegal dengan sebutan penebang liar (Bangli). Disadari atau tidak setelah sekian tahun berlangsung, setelah sekian juta hektar hutan menjadi gundul, setelah sekian trilyun hasil ekspoitasi sumber daya alam di bawa ke pusat atau entah kemana, masyarakat Kalteng yang berada di sekitar hutan maupun pertambangan tetap miskin dan bodoh. Walaupun berbagai program telah dirancang untuk masyarakat sekitar tambang maupun hutan, ternyata program tersebut tidak menyentuh masyarakat setempat dan hanya menguntungkan segelintir orang di tingkat birokrasi. Ketidak adilan ini telah merusak harkat dan martabat masyarakat etnis Dayak, sehingga mereka menuntut keadilan dalam bentuk tindakan perlawanan, seperti melakukan pengusiran terhadap etnis Madura dan melawan aparat sekalipun.

16. Latar Belakang Politik. Propinsi Kalteng berdiri dan lepas dari Propinsi Kalsel terjadi pada 17 Juli 1957 dengan ibu kota di Palangka Raya. Keberhasilan ini tidak lepas dari semangat perjuangan tokoh-tokoh masyarakat Dayak yang ingin lepas dari pengaruh pemerintahan di Propinsi Kalsel yang sebagian besar didominasi oleh etnis Banjar. Sejak berdiri hingga beberapa periode Gubernur Kalteng dijabat oleh pejabat dari etnis Dayak. Kebijakan pemerintah daerah saat itu untuk membangun daerahnya disadari membutuhkan SDM yang berkualitas dan hal ini belum mampu disiapkan oleh etnis Dayak, sehingga banyak personil di pemerintahan didatangkan dari luar Kalteng. Sejalan dengan laju pembangunan saat itu dan kebijakan Pemerintah Pusat yang sangat sentralistik, maka dalam beberapa tahun belakangan ternyata sebagian besar pejabat pada strata tertentu telah diisi oleh personil dari luar Kalteng terutama dari etnis Jawa, termasuk Gubernur Kalteng.

Perkembangan secara nasional telah membawa bangsa Indonesia pada pilihan sejarah yaitu masuk pada era reformasi. Era Pemerintahan Orde Baru yang sangat sentralisti telah berakhir dan diganti dengan Era Pemerintahan Reformasi yang pada awalnya tidak jelas wujudnya. Setelah Pemerintahan K.H. Abdulrahman Wahid yang kontroversial tersebut berkuasa muncul gerakan politik diseluruh daerah seperti tuntutan untuk merdeka, tuntutan untuk mengambil alih perusahaan negara yang beroperasi di daerah dan lain sebagainya. Hal ini diperburuk lagi setelah undang-undang Otonomi Daerah yang dijanjikan Pemerintah Pusat hanya merupakan wacana politik, sebab sangat sulit mewujudkan seketika selain membutuhkan dana yang besar, juga sarat dengan terjadinya ancaman disintegrasi bangsa.

Di latarbelakangi oleh kedua hal diatas dan dihadapkan pada tuntutan masyarakat untuk lebih mengedepankan kepentingan daerah dan adat istiadat setempat, maka ada indikasi kuat meletusnya kerusuhan antar etnis di Kateng pada bulan Pebruari 2000 lalu sangat kental dengan muatan politik. Munculnya isu putra daerah dalam pemilihan Gubernur Kalteng dan Bupati se-Kalteng serta tuntutan untuk mengganti para pejabat di setiap eselon di Pemda oleh putra daerah adalah indikasi yang mendukung adanya permainan politik lokal di Kalteng. Puncak dari permainan politik lokal di Kalteng adalah tuntutan untuk segera memberlakukan Otonomi Khusus kepada Kalteng, walaupun masyarakar Kalteng sendiri tidak mengerti akan kekhususan yang dimaksud. Timbulnya gerakan pengusiran terhadap etnis Madura yang dilakukan secara sistimatis tersebut, dapat dikatakan sebagai akibat dari tuntutan daerah yang belum mampu sepenuhnya terrealisir, seperti pelaksanaan Otonomi Daerah, penggantian pejabat dengan putra daerah dan pemulihan hak-hak adat masyarakat Kalteng akibat kebijakan yang sentralistis di masa lalu. Hal yang lebih tragis adalah munculnya isu Negara Borneo Merdeka (NBM) yang telah disangkal oleh para tokoh masyarakat Kalteng sendiri. Kondisi ini dapat digambarkan sebagai upaya daerah dalam rangka mempertingi nilai tawar terhadap Pemerintah Pusat, hanya sayangnya kerugian yang timbul jauh lebih mahal dibandingkan nilai yang ditawarkan.

17. Latar Belakang Ekonomi. Secara ekonomi Kalteng memiliki potensi sumber daya alam (SDA) yang besar dan bila dieksploitasi secara benar, adil, efektif dan efisien, akan menjadi kekuatan dan memberi nilai tambah untuk pembangunan di daerah. Setelah krisis moneter secara nasional, sektor perekonomian di Kalteng nampak tidak terpengaruh oleh kondisi di tingkat nasional. Hal ini disebabkan ketersediaan SDA berupa hasil hutan seperti kayu dan hasil tambang berupa emas yang mengalami kenaikan harga yang sangat drastis selama krisis berlangsung. Ketersediaan SDA yang relatif masih banyak dan tersebar diseluruh Kalteng tersebut, telah menjadi sumber masalah baru bagi Kalteng yaitu dengan datangnya para pencari kerja dari luar Kalteng. Di satu sisi para pencari kerja tersebut sangat membantu para pengusaha dalam melakukan kegiatan bisnisnya, khususnya di sektor pengelolaan hasil hutan dan pertumbuhan pertambangan rakyat. Namun di sisi lain para pendatang yang memiliki pendidikan yang relatif sangat rendah, sehingga hanya mampu sebagai penjual jasa pada sektor yang keras, kasar dan kotor (3 K). Kehidupan penjual jasa pada sektor ini telah menimbulkan penyakit sosial yaitu maraknya tindak kriminal seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, perjudian, pelacuran serta kasus pelanggaran hukum lainnya.

Di lain pihak kehadiran para penjual jasa di sektor 3 K tersebut telah menguasai hampir sebagian besar lapangan pekerjaan seperti kuli pelabuhan, kuli perusahaan kayu, kuli perkebunan, penambangan emas, supir becak, kegiatan ekonomi pasar, transportasi dan lain sebagainya. Permasalahan di bidang ekonomi tersebut muncul, bukan karena etnis Madura telah menguasai perekonomian di Kalteng, tetapi terletak pada cara mereka dalam melakukan kegiatan ekonomi dan mendapatkan lapangan pekerjaan di sektor tersebut. Sifat dan tabiat yang dimiliki oleh etnis Madura yang mau menang sendiri, kasar dan penuh intimidasi tersebut dan tidak segan-segan melakuakn penyerangan dengan senjata tajam (clurit), menyebabkan waga etnis lainnya merasa tersingkirkan dengan cara-cara yang tidak wajar karena ketakutan. Sementara itu warga etnis Dayak yang memiliki sifat suka mengalah dan sangat bergantung pada alam, kurang ulet dalam berusaha dengan sangat mudah dikalahkan oleh warga etnis Madura. Hal inilah yang membuat warga etnis lainnya terlebih etnis Dayak merasa tersingkir dari rumahnya sendiri dan membenci etnis Madura. Kondisi ini telah berkembang menjadi kecemburuan sosial terhadap etnis Madura oleh etnis Dayak dan etnis lainnya yang ada di Kalteng.


MASALAH-MASALAH DALAM PELAKSANAAN BINTER
SAAT KERUSUHAN ANTARETNIS DI KALTENG

18. Umum. Pelaksanaan Binter di wilayah Kalteng oleh Korem 102/Pp beserta jajarannya sebelum hingga terjadinya kerusuhan antar etnis berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan situasi dan kondisi wilayah dan kemampuan koter yang ada di wilayah tersebut. Namun demikian dalam pelaksanaanya telah diketemukan berbagai faktor hambatan dalam pelaksanaan kegiatan Binter di lapangan. Permasalahan tersebut meliputi faktor yang bersifat tetap yaitu luas wilayah binaan, kondisi demografi, ketersediaan SDA. Faktor yang bersifat dinamis meliputi kondisi SDM aparat Binter, SDM aparat lainnya, ketersediaan dana, masalah hukum dan tararan kewenangan di bidang keamanan. Kedua faktor tersebut saling menentukan, sehingga penanganan salah satu sektor akan tidak efektif karena faktor lainnya

19. Masalah Kondisi Wilayah di Kalteng. Masalah yang dihadapi dalam melaksanakan tugas pembinaan teritorial di Kalteng sangat komplek. Kompleksitas permasalahan terletak pada banyaknya faktor berpengaruh yang menjadi kendala dalam pembinaan, sehingga pelaksanaan Binter menjadi sangat tidak efektif. Sementara itu peluang yang ada, walaupun relatif sedikit dapat dimanfaatkan oleh para prajurit di lapangan, sehingga mekanisme pembinaan masih tetap berjalan dengan segala kekurangannya. Memahami lebih jauh tentang kondisi wilayah yang berpengaruh terhadap pelaksanaan Binter dihadapkan pada kondisi personil teritorial yang ada dapat diketengahkan hal-hal sebagai berkut ;

Pertama, dilihat dari aspek geografi dan dihadapkan pada perbandingan jumlah aparat Koter yang tersedia. Wilayah pembinaan Korem 102/Pp meliputi seluruh wilayah Propinsi Kalteng yang luasnya sekitar satu setengah kali pulau Jawa, kondisi sarana dan prasana transportasi yang masih menggunakan sarana dan prasarana sungai, kondisi permukaan yang masih ditutupi hutan dan tanah gambut serta rawa-rawa merupakan faktor penghambat yang berpengaruh sangat besar terhadap pelaksanaan tugas oleh prajurit dilapangan. Hambatan utamanya adalah tidak seimbangnya antara jumlah personil Babinsa dengan desa binaan yang ada sehingga mekanisme pembinaan kurang efektif. Saat ini jumlah desa yang ada di wilayah Korem 102/Pp sebanyak 1180 desa, sedangkan Babinsa yang ada sesuai DSPP sebanyak 251 orang atau 21 %, tetapi Babinsa yang nyata ada sebanyak 135 Orang atau 11 %. Dari jumlah tersebut sekitar 26 orang tidak aktif karena faktor non-teknis seperti sakit dan merangkap jabatan lain. 12

Dihadapkan pada perbandingan antara banyaknya desa dan ketersediaan Babinsa terdapat satu Babinsa membina antara delapan hingga sembilan desa. Dari aspek organisasi, ketersediaan personil yang hanya 11 % sebenarnya sudah dapat dikategorikan sebagai tidak mampu melaksanakan tugas. Di samping itu tidak tersedianya sarana transportasi sungai yang ada di satuan serta mahalnya biaya transportasi sungai dibandingkan di darat, merupakan masalah non-teknis yang perlu mendapat perhatian. Dukungan dana yang ada untuk para Babinsa yang melaksanakan tugas di lapangan relatif sangat kecil bila dihadapkan pada biaya yang harus dikeluarkan oleh Babinsa bila akan mengunjungi desa binaannya. Pos Babinsa yang ada selama ini di desa binaannya sebagian besar sumbangan dari pengusaha kayu yang ada di daerah tersebut dan kini kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Upaya perbaikan dalam beberapa tahun terakhir mengalami kesulitan, karena kondisi wilayah dan perkembangan situasi secara nasional tidak memungkinkan lagi untuk mendapatkan bantuan seperti di masa lalu. Akibat dari keadaan tersebut para Babinsa sebagian ada yang tinggal di asrama Kodim, sehingga pelaksanaan tugas ke desa binaannya relatif tidak sepenuhnya. Kondisi diatas diperparah lagi oleh kemampuan para Babinsa yang relatif kurang, walaupun sudah dilakukan pembinaan secara bergiliran setiap bulan sekali pada saat menerima gaji di Makodim.

Kedua, dilihat dari aspek demografi, jumlah penduduk Kalteng yang kurang dari dua juta jiwa, tersebar secara tidak merata. Pengelompokan penduduk terjadi di kota kecamatan dan berada di sepanjang aliran sungai. Sebagian besar mata pencaharian penduduk adalah mencari hasil hutan seperti kayu, getah kayu, pengumpul rotan, berkebun, menambang emas dan peternak ikan keramba. Sementara itu keadaan masyarakat pedalaman yang hidup secara tradisional, memiliki kepercayaan tradisional Kaharingan yang masih percaya pada roh dan alam gaib serta kurang bergaul dengan masyarakat lain karena masalah bahasa pengantar, sulit untuk dilakukan pembinaan oleh aparat Koter yang rata-rata berasal dari Pulau Jawa. Ditinjau dari segi pendidikan terutama masyarakat pedalaman rata-rata tingkat pendidikannya masuh rendah, hal ini juga mempengaruhi tingkat kesadaran masyarakat untuk bersosialisasi dengan lingkungannya. Beragamnya pekerjaan yang dilakukan masyarakat dengan lokasi yang tersebar secara tidak merata, rendahnya latar belakang pendidikan, masih tradisionalnya cara hidup sebagian masyarakat pedalaman menjadi kendala pokok dalam upaya melaksanakan pembinaan wilayah.

Ketiga, ditinjau dari SDA yang ada di Kalteng. Kalteng kaya dengan SDA seperti hasil hutan, hasil tambang dan hasil bumi lainnya. Pada hasil hutan terutama kayu sangat menjanjikan untuk kesejahteraan masyarakat Kalteng. Permasalahannya terletak pada kebijakan masa lalu oleh pemerintah pusat yang memberikan beroperasinya HPH oleh perusahaan tertentu telah menguras hasil hutan Kalteng tanpa memberikan kontribusi posistif bagi masyarakat Kalteng secara keseluruhan. Akibat ijin yang diberikan oleh pusat, maka HPH memiliki hak sah atas sejumlah luas tertentu dari hutan yang ada. Hal ini telah mengurangi lapangan pekerjaan masyarakat yang telah turun temurun hidup dari hasil hutan. Hal sangat menyedihkan dirasakan masyarakat adalah status ilegal yang diberikan pemerintah pada masyarakat bila melakukan penebang di areal hutan yang kini jadi sah secara hukum hak pengelolaan oleh perusahaan. Hasil tebangan masyarakat menjadi ilegal dan dapat ditangkap oleh aparat. Timbul pertanyaan bagai mana hidup masyarakat yang selama ini hidup dari hasil hutan, sementara hutan yang ada disekitarnya tidak boleh diambil kayunya. Bila masyarakat mengambil kayu di hutan, maka dikategorikan melakukan penebangan liar, sehingga dapat ditangkap oleh aparat dan berarti berhadapan dengan hukum. Disamping hasil hutan yang menjadi mata pencaharian masyarakat, juga ada hasil tambang berupa emas merupakan mata pencaharian yang sangat menjanjikan. Penambangan dengan peralatan mesin penyedot dan penggunaan zat kimia air raksa (Ag) dalam pemisahan serbuk emas ternyata dalam prakteknya telah menimbulkan pencemaran, karena zat kimia dari sisa olahan tersebut dibuang secara sembarangan ke sungai. Sementara itu dari segi hukum praktek penambangan yang demikian dilarang oleh Perda yang dibuat oleh Pemda Kalteng, sehingga kegiatan penambangan masyarakat menjadi illegal atau disebut penambang tanpa ijin (PETI). Mekanisme pemanfaatan hasil hutan dan penambangan emas tersebut telah menjadi konflik vertikal di daerah yang hingga saat ini belum dapat ditangani secara tuntas. Hal inilah yang menjadi kendala dalam pembinaan masyarakat, karena masyarakat tidak percaya lagi pada aparat, terlebih ada oknum aparat, baik aparat hukum, birokrasi dan pihak lainnya telah memanfaatkan kondisi tersebut untuk kepentingan pribadi. Lebih jauh pada masyarakat timbul ketidakpercayaan terhadap perangkat pemerintahan baik di pusat maupun daerah, yang pada gilirannya melunturkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat Koter di daerah.

Disamping ketiga faktor diatas, keterlibatan personil teritorial dalam berbagai kasus telah memperburuk kinerja aparat teritorial yang pada gilirannya ikut mendorong kurang efektifnya pelaksanaan Binter di wilayah. Kondisi ini terjadi sebagai sesuatu yang tak terhindarkan akibat kedekatan aparat dengan masyarakat, sementara kondisi untuk mendukung mekanisme tugas sangat terbatas dan tak jarang ada tugas lain yang harus didahulukan serta membutuhkan penanganan yang tidak kalah pentingnya dari tugas pokok.

20. Masalah Kondisi Sosial Masyarakat Kalteng. Jauh sebelum terjadinya kerusuhan, wilayah Kalteng merupakan wilayah yang sangat kondusif dari aspek permasalahan kondisi sosial. Gejolak jarang terjadi dan bila ada dapat diselesaiakan dengan cara-cara yang dibenarkan saat itu, seperti musyawarah adat, musyawarah keluarga dan lain sebagainya. Masyarakat menerima kondisi ini dengan apa adanya, walaupun dalam dirinya terjadi penuh pertentangan. Sementara itu kebijakan pemerintah pusat yang sangat sentralistik saat itu, telah membungkam rasa kedaerahan dan bahkan keberanian masyarakat untuk bersikap kritis terhadap pemerintah. Kondisi ini tidak bertahan lama, setelah era reformasi keberanian masyarakat untuk berbicara dan bersikaf kritis muncul seiring dengan era demokrasi yang membuka pintu kebebasan. Demikian pula halnya kesempatan untuk bersikap kritis untuk menyikapi rasa ketidak adilan yang dirasakan masyarakat mulai berani disuarakan. Seperti halnya di daerah lain, masyarakat Kalteng-pun bersikap sama dan menuntut kebersamaan dan kesetaraan serta keadilan yang sama dengan masyarakat lainnya di wilayah NKRI. Hal ini dapat diketahui dari beberapa kasus yang muncul di Kalteng berberapa tahun terakhir, khususnya pada era reformasi. Beberapa aspek yang menonjol dan berpengaruh langsung terhadap kondisi wilayah meliputi ;

Pertama, aspek ideologi dan politik. Dengan diberlakukannya Otonomi Daerah sebagai proses mewujudkan demokratisasi di daerah, telah menimbulkan ego kedaearah yang tinggi, sehingga apapun yang berbau dari luar daerah ditentang dan dianggap sebagai penghambat upaya daerah untuk memajukan masyarakatnya. Secara umum masyarakat Kalteng mengakui dan masih setia pada NKRI serta siap untuk membela kepentingan bangsa dan negara di Kalteng. Namun demikian dengan adanya kerusuhan antar etnis beberapa bulan lalu kesetiaannya belum teruji. Ada kecendrungan untuk lebih menonjolkan kepentingan kelompok dari pada kepentingan nasional. Sementara itu dampak dari perkembangan politik yang begitu cepat telah membawa proses demokratisasi pada tuntutan kebersamaan dan kesetaraan disegala bidang. Isu putra daerah telah menonjol dalam segala aspek kehidupan, termasuk tuntutan putra daerah bagi pejabat Polri maupun militer yang ada di Kalteng. Kondisi ini telah menempatkan aparat Koter yang sebagian besar bukan warga non Kalteng pada posisi sulit karena ada indikasis penolakan dalam bersosialisasi secara individu dengan masyarakat.

Kedua, aspek ekonomi. Secara ekonomi kondisi Kalteng merupakan sumber bahan baku yang banyak menghasilkan devisa melalui ekspor dan pengiriman berbagai sumber penghasilan lainnya ke wilayah Indonesia di luar Kalteng. Bahan baku yang merupakan primadona Kalteng adalah hasil hutan seperti Kayu dan berbagai jenis getah seperti karet dan lain-lain. Pada sektor pertambangan yang menonjol adalah penambangan emas. Kegiatan penambangan masyarakat dilakukan dimana-mana seperti di DAS dan dalam hutan dengan memberikan keuntungan yang cukup besar pada masyarakat yang hidup dari kegiatan pertambangan tersebut. Sektor lain adalah dibidang jasa dan perdagangan, khususnya kegiatan di pasar-pasar besar yang ada di Kalteng. Pada beberapa tahun terakhir, kegiatan di sektor ekonomi tersebut telah mampu memberikan kesejahteraan dan meningkatkan taraf hidup pada masyarakat yang lebih baik, terlebih pada masa krisis ekonomi saat ini. Namun demikian perkembangan selajutnya, kehadiran masyarakat pendatang di Kalteng, khususnya dari etnis Madura yang sulit terpantau dan tidak diketahui secara pasti jumlahnya, telah menjadi masalah serius yang dapat mengancam kondisi kondusif Kalteng yang selama itu berhasil dibina. Sesuai karakter yang dimiliki oleh etnis Madura yang cenderung invansif dan ingin menang sendiri, kehadiran mereka pada sektor tersebut diatas, telah menggangu keseimbangan yang ada di daerah Kalteng khususnya di kota kabupaten maupun kecamatan. Terjadi penguasaan lapangan pekerjaan terutama pada sektor penjual jasa, seperti buruh pelabuhan, tukang becak, pedagang di pasar dan buruh pada perusahaan kayu dan lain sebagainya. Kehadiran etnis Madura pada hampir semua sektor ekonomi tersebut dan karena sifat dan karakter etnis madura yang cenderung mau menang sendiri telah menimbulkan perasaan anti pati dan kebencian pada etnis lainnya, terlebih etnis Dayak yang merasa sebagai tuan di Bumi Kalteng. Kondisi terus berkembang sampai meletusnya kerusuhan antar etnis Dayak dan etnis Madura di Kalteng, sehingga menyebabkan terusirnya etnis Madura dari hampir sebagian besar wilayah di Kalteng kecuali Kab. Kobar.

Ketiga, aspek Sosial Budaya. Perkembangan masyarakat Kalteng sebagai akibat kemajuan pembangunan yang di masa lalu telah memberikan perubahan pada sikap dan prilaku masyarakat pedalaman Kalteng yang tradisional menjadi masyarakat yang materialistis. Di sisi lain masyarakat Kalteng yang masih tradisional memiliki kebiasaan menggantungkan diri pada kekayaan sumber daya alam, kurang mau bersaing, tidak memiliki pola pikir ke masa depan dan tidak mau mengambil resiko. Ketergantungan masyarakat Kalteng pada kekayaan sumber daya alam dan karena sikap tradsional yang ada pada mereka, menyebabkan timbul rasa angkuh dan cenderung tidak mau bersosialisasi dengan masyarakat lainnya. Hal ini ditunjukan oleh sebagian masyarakat Dayak yang tinggal dipedalaman dalam kehidupan adat yang kuat dan sulit menerima pengaruh dari luar. Sementara itu kehadiran masyarakat pendatang kedaerah pedalaman, telah mendesak keberadaan masyatakat etnis Dayak dan mempengaruhi pola serta tingkah laku mereka. Bagi mereka yang mau dan mampu bersosialisasi, masih harus berhadapan dengan tingkah laku dan kebiasaan masyarakat etnis pendatang khususnya etnis Madura yang cenderung keras, kasar, licik dan eksklusif.

Ditinjau dari kegiatan Binter oleh aparat Koter di Kalteng dari aspek sosial budaya terdapat dua hal pokok yaitu adanya perubahan dalam masyarakat akibat kemajuan pembangunan selama ini dan ketidak mampuan masyarakat dalam menyesuaikan dalam perubahan tersebut. Bagi masyarakat yang mau berubah akibat tuntutan hidup cenderung mengabaikan masalah hukum dan tatanan pembinaan yang dilakukan baik dari unsur Pemda, aparat penegak hukum maupun oleh aparat Koter. Sementara itu masyarakat yang tidak mampu menyesuaikan dengan perubahan semakin menjauh dari mekanisme kehidupan bermasyarakat, termasuk dalam hal ini makin menjauh dari upaya pembinaan oleh aparat Koter. Meletusnya kerusuhan antar etnis di Kalteng telah memperburuk keadaan. Masyarakat etnis Dayak pedalaman yang masih belum mampu berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia terprovokasi oleh hasutan yang dilakukan kelompok etnis Dayak yang menghendaki terjadinya pengusiran etnis Madura dari Kalteng. Kegiatan Binter oleh aparat Koter, termasuk pembinaan masyarakat oleh Pemdan dan aparat penegak hukum lainnya tidak mampu menghalangi niat masyarakat etnis Dayak yang terprovokasi dan telah berubah menjadi kebencian serta dibumbui dengan upacara adat seperti “ngayau”, peberian ilmu kebal dan kepercayaan lainnya. Di lain pihak masyarakaat etnis Madura merasa hidup dalam alam kebebasan yang sangat mengabaikan hukum serta sikap keras kepala, telah memandulkan pembinaan yang dilakukan oleh aparat di lapangan.

Keempat, aspek Hankam. Permasalahan yang timbul pada aspek Hankam merupakan dampak dari aspek lainnya dan menjadi beban yang harus dihadap dan diselesaikani. Dari aspek Hankam diketengahkan beberapa masalah yang timbul baik sebelum maupun hingga terjadinya kerusuhan antaretnis sebagai berikut :

a. Kriminalitas di Kalteng. Sebelum terjadinya kerusuhan antar etnis telah terjadi peningkatan tindak kriminalitas di seluruh wilayah Kalteng, mulai dai desa hingga ke kota Kabupaten dan Propinsi. Meningkatnya tindak kriminalitas tersebut disebabkan oleh beberapa hal antara lain : pertama, masuknya pendatang baru, khususnya etnis Madura baik dari Kalbar maupun datang langsung dari pulau Madura sebagai akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan dan krisis sosial di seluruh wilayah Indonesai, telah merubah komposisi kehidupan sosial masyarakat Kalteng. Ada indikasi kehadiran etnis Madura sebagai pendatang baru di Kalteng berasal dari strata masyarakat bawah dengan tingkat pendidikan, ekonomi dan peradaban yang relatif rendah. Hal ini terungkap pada prilaku kehidupan sehari-hari yang cenderung menggunakan cara-cara yang tidak beradab dan dilakukan dengan mencolok di depan umum tanpa rasa bersalah. Kedua, Terjadi penguasaan lapangan pekerjaan pada sektor penjual jasa seperti kuli pelabuhan, buruh pabrik kayu dan lain sebagainya dengan cara-cara licik, penuh dengan tindak kekerasan dan intimidasi. Kehadiran mereka pada strata sosial kelas bawah, maka sangat rawan terhadap penyakit sosial seperti tindak kejahatan, pelanggaran ketertiban umum, pelacuran dan kegiatan lainnya. Ketiga, Penegakaan hukum yang kurang tuntas dan ada kemungkinan aparat penegak hukum terlibat dalam mapia peradilan. Banyak kasus kriminal yang muncul di Kalteng beberapa tahun terakhir yang diidentifikasi dilakukan oleh etnis Madura tetapi jarang terselesaikan dengan tuntas. Bahkan pelaku yang jelas-jelas sudah diproses akhirnya dilepas karena belum cukup bukti dan ada jaminan dari pihak tertentu. Kondisi ini membuat sekelompok masyarakat etnis Madura menjadi kurang peka terhadap hukum dan cenderung ingin mengulangi perbuatan jahatnya, karena ada yang membela atau dapat diselesaikan dengan jaminan uang. Keempat, Ada indikasi keterlibatan kelompok paguyuban seperti Ikatan Keluarga Madura (IKAMA) di Kalteng yang mendalangi upaya pembebasan warga etnis Madura dari jeratan hukum dan bahkan ada oknum pengurusnya yang sering berupaya untuk membebaskan warganya bila melakukan tindak kejahatan.

b. Aparat Hankam di daerah. Keadaan aparat Hankam baik TNI maupun Polri di daerah dari segi kualitas dan kuantitas masih kurang dihadapkan pada luas wilayah dan dislokasi penduduk yang menyebar. Hal ini menyebabkan tidak efektifnya pembinaan pengamanan masyarakat maupun upaya pembinaan sadar bela negara pada masyarakat. Kondisi ini diperburuk lagi dengan adanya prilaku aparat yang tidak baik dan cenderung melanggar hukum melalui kegiatan yang illegal seperti melakukan pencurian hasil hutan, membekingi cukong kayu, melakukan penyelundupan hasil hutan keluar Kalteng dan lain sebagainya. Hal ini terjadi akibat dari : pertama, kehidupan sosial ekonomi di Kalteng relatif lebih tinggi dibanding dengan daerah lain seperti di Jawa, sehingga memaksa aparat bertahan dan hidup dengan gayanya masing-masing. Bagi yang mampu bertahan hidup dengan gaji yang bahkan tidak mencukupi untuk kebutuhan satu bulan, lama kelamaan tidak tahan dengan penderitannya, akhirnya melibatkan diri dalam kehidupan yang sudah cukup sulit tersebut. Kedua, Aparat yang terbiasa hidup dengan cara-cara yang tidak baik, dapat hidup lebih baik dan nampaknya sangat membantu pelaksanaan tugas. Kondisi ini yang mendorong aparat untuk berupaya mencari tambahan penghasilan, selain untuk pribadi juga dapat memperlancar pelaksanaan tugas, walaupun cara yang dilakukan sampai harus melanggar hukum.

21. Masalah Pembinaan oleh Aparat di Daerah. Kegiatan pembinaan oleh aparat di daerah seperti Pemda dan aparat Penegak hukum serta aparat lainnya terhadap masyarakat khususnya di daerah pedalaman relatif sangat kurang, baik dari kehadirannya di daerah pedalaman maupun dalam bentuk kegiatan nyata dalam bentuk program oleh Pemda. Turunnya kualitas dan kuantitas pembinaan dan pelayanan masyarakat tersebut sangat nampak setelah adanya krisis ekonomi dan berlangsung terus hingga saat ini. Hal ini disebabkan karena ; Pertama, hampir sebagian besar dari aparat tersebut tinggal di kota Kabupaten dan sebagian besar dari keluarganya tidak dibawa ke daerah. Ketidak hadiran mereka di daerah selain sangat jarang, terkadang ingin mendapat perlakuan yang berlebihan, seperti layaknya pejabat dan cenderung menakut-nakuti masyarakat. Kedua, dukungan dana, prasarana dan pasilitas lainnya yang sangat terbatas tersedia di daerah pedalaman. Dengan segala keterbatasan tersebut, sangatlah logis bila ketidakhadirannya tidak terelakan lagi. Ketiga, tunjangan kemahalan khusus untuk daerah pedalaman yang diberikan selama ini nilainya sudah relatif tidak sebanding dengan kondisi saat ini. Kebanyakan aparat yang bertugas di daerah pedalaman, memanfaatkaan hubungan baik dengan pihak-pihak perusahaan yang ada di daerahnya dan mengharap dukungan dana dari pihak yang bisa membantu. Kondisi ini sangat tidak baik yang dilakukan oleh aparat di lapangan, sebab akan mempengaruhi netralitas dan kemandiriannya dalam melaksanakan tugas.

Satu-satunya aparat yang relatif sering ada di daerah baik di desa dan di kecamatan adalah unsur Koter dari Babinsa dan Koramil, walaupun jumlahnya sangat terbatas. Sebagai manusia biasa aparat Koter tersebut juga sarat dengan keterbatasan seperti kemampuan pribadi dan pengaruh situasi lingkungan yang ada memungkinkan aparat terbawa pada tindakan yang secara tidak sadar telah merusak harkat dan martabat sebagai aparat di daerah. Kondisi ini tidak terhindarkan, terlebih dukungan dana yang ada dari komando atas sangat terbatas dan permasalahan wilayah yang dihadapi oleh aparat Koter sangat kompleks. Pertanyaannya adalah; apakah kondisi ini akan dibiarkan terus berlangsung dengan resiko tidak ada perubahan yang terjadi dalam hasil Binter kedepan ?, atau ada perubahan kebijakan dari Komando Atas dengan memberikan ruang yang lebih jelas pada aparat Koter dalam kewenangan dan peran, dengan resiko ada perubahan mendasar ke depan yang harus dilakukan.

22. Masalah Hukum dan Tataran Kewenangan. Perubahan mendasar di Indonesia terjadi pada upaya penegakan hukum sebagai program dari reformasi yang salah satu diantaranya adalah penegakan supremasi hukum. Berbagai aturan mulai dari konstitusi, ketetapan MPR, Undang-undang maupun peraturan lainnya telah dilakukan perubahan sesuai dengan tuntutan masyarakat saat ini. Beberapa perubahan peraturan yang ada dan berpengaruh pada peran TNI adalah sebagai berikut :

a. Setelah Amandemen Kedua UUD 1945 telah memberi pemahaman yang lebih terperinci tentang keterlibatan TNI serta komponen bangsa lainnya dalam melaksanakan pertahanan negara yang tertuang dalam tiga ayat sebagai berikut : Pasal 30 Ayat (1) “ Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara” dan Ayat (2) “ Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia” serta Ayat (3) “Tentara Nasional Indonesia terdiri atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi, dan memelihara keutuhan dan kedaulatan negara”. 13 Ketiga ayat tersebut mengandung pengertian bahwa pertahanan negara menjadi tanggung jawab seluruh warga negara dan bangsa Indonesia, bukan hanya tanggung jawab TNI saja. Juga berarti pertahanan merupakan fungsi pemerintahan dan melibatkan seluruh komponen bangsa. Dengan demikian maka menyangkut masalah kebijakan di bidang pertahanan membutuhkan kesepakatan bangsa melalui wakil rakyat di legislatif.

b. Dalam Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri dijelaskan bahwa, Pasal 1 “Tentara Nasional Indonesia merupakan bagian dari rakyat, lahir dan berjuang bersama rakyat demi membela kepentingan negara” dan Pasal 2 Ayat 1 “ Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia “. Serta Pasal 2 Ayat 2 “ Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan negara, bertugas menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”.[11]

c. Pelaksanaan Undang-Undang RI Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara nasional telah berlaku mulai 1 Januari 2001. Kondisi ini menempatkan Pemda sebagai penguasa tunggal dan memiliki kewenangan penuh dalam mengelola potensi wilayah untuk kepentingan pembangunan di daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kewenangan yang tidak dilimpahkan kepada daerah sesuai UU RI Nomor :22 Tahun 1999 Pasal 7 (1) “ Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan bidang lain”. Sementara itu kewenangan Pemda dibidang Hankam di daerah sesuai UU RI Nomor:22 Tahun 1999 Pasal 10 (2) e. “bantuan penegakan keamanan dan kedaolatan negara”[12]. Dalam hal ini Pemda bersifat membantu aparat yang bertugas di bidang Hankam. Kewenangan berada di pusat dan dapat dilimpahkan kepada aparat pusat yang berada di daerah.

Dari ketentuan perundang-undangan yang ada tersebut telah secara nyata memberikan pemisahan yang tegas dan mengikat terhadap kewenangan TNI pada bidang pertahanan, sedangkan Kepolisian pada bidang keamanan serta Pemda pada bidang pembangunan di daerah dalam segala aspek ( Binter ). Pemahaman yang keliru tentang pemisahan tersebut telah dirasakan baik dilingkungan personil TNI dengan sikap ragu-ragu bertindak bila berhadapan dengan penugasan yang bernuansa keamanan. Terlebih lagi dengan adanya ketentuan Bantuan Militer dari TNI kepada Polri atas permintaan telah mempertegas bahwa terjadi pemisahan yang tegas dalam kewenangan antara TNI dan Polri. Walaupun dalam bagian berikutnya menjelaskan bahwa dalam melaksanakan tugasnya TNI dan Polri harus bekerja sama, tetapi karena Undang-undang yang mengaturnya belum ada, maka mekanisme dilapangan masih menimbulkan keraguan prajurit dalam bertindak.

23. Masalah Sumber Daya Manusia Binter. Sebagai unsur pelaksana kegiatan Binter di wilayah adalah aparat Koter dengan perangkatnya di daerah. Permasalahan yang ada di wilayah yang dibina oleh aparat Koter sangat kompleks sekali dan jangkauannya sangat luas. Aspek geografi, aspek demografi, aspek kekayaan alam dan aspek kondisi sosial adalah isi dari seluruh bumi Indonesia yang selama ini sepertinya menjadi milik TNI melalui unsur aparat Koter di daerah untuk membinanya. Kompleksitas permasalahan yang ada di wilayah telah menjadi milik bangsa yang selama ini tidak tertangani dengan maksimal. Bila seluruh komponen bangsa saat ini tidak mampu mengatasi kompleksitas permasalahan di wilayah, masihkah TNI dengan aparat Koter yang ada di daerah merasa mampu dan harus bertanggung jawab atas permasalahan bangsa tersebut ? Pertanyaan tersebut akan terjawab dengan sendirinya setelah melihat dan menilai dengan jujur kenyataan yang ada saat ini. Kemampuan SDM aparat Koter yang ada saat ini baik kualitas maupun kuantitas sangat kurang bila dihadapkan pada tuntutan tugas. Hampir disemua wilayah, kecuali untuk pulau Jawa dan wilayah kota besar seperti Jakarta, sebagian besar Koter kekurangan personil dalam segala strata. Di lingkungan wilayah Korem 102/Pp saat ini ketersediaan Babinsa selaku ujung tombak sekitar 21,27 % atau sekitar 251 orang Babinsa dari jumlah desa yang ada sekitar 1180 desa. [13] Demikian juga untuk para Danramil selaku ujung tombak pelaku menejemen Binter di wilayah baru terisi oleh Perwira sekitar 39 % atau 30 orang Danramil dari 77 Koramil yang ada membina sekitar 85 kecamatan. Lihat tabel : 1 tentang Personil Korem 102/Pp periode Agustus 2001.[14]

Ditinjau dari kualitas personil Koter di wilayah Korem 102/Pp yang pernah mengikuti kursus Perwira Teritorial adalah 41 orang atau sekitar 33,33 % dari 123 orang perwira jajaran Korem 102/Pp yang ada. Sementara itu personil yang pernah mengikuti kursus Bintara Teritorial sekitar 106 orang atau 16,39 % dari 639 orang Bintara yang ada di Korem 102/Pp.[15] Apabila dilihat dari aspek kualitas dan kuantits personil Koter baru termasuk satuan yang dipelihara atau dengan kata lain tidak siap operasional. Kondisi ini langsung atau tidak langsung menyebabkan kegagalan pelaksanaan Binter dilapangan, baik yang terjadi di Kalteng mapun di wilayah lain di Indonesia.

24. Masalah Keterbatasan Dana Binter. Pembiayaan terhadap program kegiatan di bidang Binter terrealisasi setiap tahun dalam bentuk program kegiatan dan anggaran masing-masing satuan. Kegiatan Binter baik yang menyangkut pembinaan wilayah dengan segala isinya maupun pembinaan personil Binter itu sendiri memang teranggarkan, tetapi biaya yang dianggarkan sangat sedikit, bahkan beberapa kegiatan yang wajib dilaksanakan tanpa didukung anggaran sama sekali. Program kegiatan Bio-M dalam rangka untuk memacu produksi pangan masyarakat, merupakan program yang disusun diatas meja tanpa melalui study kelayakan sama sekali. Hal ini terbukti sebagian besar kegiatan tersebut gagal dan bahkan sulit terrealisasikan untuk wilayah Kalteng. Dalam kondisi krisis saat ini uluran tangan pihak donatur sangat sulit didapat dan bila hal ini dipaksakan akan menjurus pada terjadinya menyimpang etika dan moral prajurit.


PERAN KOTER DALAM MENGATASI
KERUSUHAN ANTARETNIS

24. Umum. Kegiatan Korem 102/Pp beserta jajarannya sebelum, pada saat dan setelah kerusuhan antar etnis dalam pelaksanaan Binter di wilayah Kalteng berjalan dengan baik sesuai dengan program yang ditentukan oleh Komando Atas, baik dalam bentuk program kegiatan yang dianggarkan maupu penugasan yang bersifat insidentil yang tanpa anggaran. Hampir semua kegiatan tersebut dapat terlaksana dengan baik, dihadapkan dengan kondisi yang ada dan dukungan dana dari atas. Keberhasilan pembinaan teritorial tidak hanya ditentukan oleh terlaksananya program kegiatan yang ditentukan oleh Komando Atas saja, tetapi lebih dari itu, bagaimana masyarakat dapat menerima kehadiran Korem 102/Pp beserta jajarannya di daerah binaannya dan masyarakat meresa membutuhkan kehadirannya. Hal ini telah terbukti pada saat terjadinya kerusuhan antar etnis di Kalteng sekitar bulan Peberuari 2001, dimana masyarakat Kalteng menghendaki agar Korem 102/Pp mengambil alih Kodal atas keamanan di Kalteng. Walaupun hal ini tidak dilakukan secara resmi, tetapi kenyataan yang terjadi Kodal keamanan dilapangan telah dikendalikan oleh Danrem 102/Pp, karena unsur Polda Kalteng mengalami konflik dengan masyarakat.

25. Sebelum Kerusuhan. Selaku aparat Koter di daerah baik Korem 102/Pp maupun unsur Kodim jajarannya dan Koramil melaksanakan pembinaan teritorial di wilayah dengan azas prioritas. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal meliputi :

a. Walaupun kondisi personil untuk tingkat Babinsa relatif kurang maupun Danramil yang sebagian besar dirangkap oleh Ba Tuud Koramil, tetapi kehadirannya di wilayah binaannya relatif sering, karena sebagian besar dari mereka tinggal di wilayah binaannya. Kedekatan mereka dengan masyarakat dirasakan manfaatnya terutama dalam mengantisifasi kemungkinan gejolak yang muncul,sehingga dapat diambil langkah penanganan lebih awal. Namun demikian di beberapa desa yang karena Babinsanya dirangkap, maka kehadiran Babinsa tersebut relatif kurang. Hal ini dapat berpengaruh terhadap hasil binaan yang relatif berbeda dibandingkan dengan apabila para Babinsa berada di desa binaannya.

b. Memprioritaskan penempatan personil pada Koramil yang padat penduduknya seperti Koramil Kota dan Koramil yang memiliki kerawanan sosial yang relatif banyak. Hal ini didasari oleh pertimbangan karena wilayah yang padat penduduknya memiliki tingkat kerawanan sosial yang relatif tinggi dibanding daerah yang jarang penduduknya. Dengan adanya penempatan personil yang relatif banyak pada wilayah yang penduduknya padat atau rawan konflik sosial, diharapakan akan terjadi interaksi yang lebih banyak, sehingga jalinan hubungan pembinaan relatih lebih banyak.
c. Bagi wilayah yang rawan konflik dan padat penduduk selain ditempatkan personil yang lebih banyak, juga frekuensi kunjungan pejabat baik Dandim, maupun Danramil diperbanyak terutama untuk melakukan dialog dengan tokoh masyarakat dan tokoh lainnya di wilayah tersebut. Selain itu upaya pendekatan yang dilakukan dengan cara mengadakan kegiatan sosial seperti pencanangan KB Kes, bantuan penyaluran Sembako, pengobatan cuma-cuma, karya bhakti, bhakti TNI, latihan bersama dan lain sebagainya. Kehadiran Koter dalam kegiatan tersebut relatif dapat mendekatkan unsur Koter dengan masyarakat dan timbul adanya kedekatan antara prajurit TNI dengan masyarakat setempat.

Dengan langkah-langkah pembinaan seperti tersebut di atas, dihadapkan pada tugas yang akan dilaksanakan untuk membina wilayah beserta isinya, terlebih setelah isu pengusiran terhadap etnis Madura mulai muncul di Kalteng, maka peran Koter dalam melakukan Binter di wilayah relatif banyak hambatan. Hal ini disebabkan karena isu pengusiran etnis Madura di Kalteng diilhami oleh kejadian di Kalbar, timbulnya ego kedaerah akibat Otonomi Daerah dan kecenderungan pemaksaan kehendak dari para aktivis yang ada di Kalteng. Dalam rangka mencegah terjadinya kerusuhan, peran Koter secara rinci adalah sebagai berikut :
a. Mengadakan pembinaan terhadap tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda agar dapat menghimbau warganya untuk tidak melakukan kegiatan yang bersifat anarkis seperti melakukan pengusiran dan pembunuhan terhadap etnis Madura.
b. Membantu aparat Pemda dan Kepolisian dalam menyelesaikan kasus pertikaian antar etnis dengan mengadakan kesepakatan damai, upacara adat dan membentuk forum komunikasi lintas etnis.
c. Melakukan penyelidikan secara intensip terhadap kemungkinan adanya pihak ketiga yang memprovokasi masyarakat Kalteng.
d. Mengadakan konter isu, menangkal selebaran gelap yang sengaja dibuat untuk memprovokasi warga masyarakat.
e. Memberikan bantuan pengamanan pada obyek vital daerah, karena aparat Kepolisian belum berani mengambil alih pengamanan secara keseluruhan.
f. Melaksanakan patroli gabungan bersama aparat Kepolisian dan Pemda.

27. Saat Kerusuhan. Selama kerusuhan peran Koter sangat dominan terutama setelah aparat Polri dan Pemda setempat tidak efektif melakukan upaya mencegah terjadinya kerusuhan. Ketidak efektifan tersebut disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : Pertama, ketidak percayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian dalam penegakan hukum menjadi pukulan balik bagi aparat kepolisian, karena tindakan kepolisian di masa lalu yang tidak adil terhadap masyarakat dalam penegakan hukum. Pukulan balik yang dirasakan aparat kepolisian karena sikap masyarakat yang tidak percaya terhadap aparat kepolisian, telah menempatkan aparat Kepolisian dalam posisi yang tidak berdaya dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Selain karena ulah masa lalu oknum aparat Kepolisian dalam pegakan hukum yang tidak adil dirasakan masyarakat, juga karena masyarakat telah terprovokasi akibat ulah sebagian anggota Polri khususnya anggota resimen Brimob dari Kelapa Dua Jakarta yang telah bertindak sewenang-wenang selama bertugas di Kalteng. Kedua, keberpihakan sebagian besar oknum aparat Pemda dalam kasus kerusuhan antar etnis di Kalteng, telah menyebabkan tidak terlaksananya mekanisme pelayanan yang diberikan oleh Pemda kepada masyarakat khususnya etnis Madura yang menjadi korban. Selain ada indikasi terlibat secara langsung maupun tidak langsung dalam upaya pengusiran terhadap etnis Madura, oknum aparat Pemda yang sebagian besar berasal dari etnis Dayak tidak melakukan tugas-tugasnya sebagai aparat baik karena terlibat langsung dalam upaya pengusiran, juga karena mengungsi akibat kerusuhan yang terjadi. Dengan demikian otomatis peran Pemda dalam mengatasi kerusuhan tidak berfungsi sama sekali.

Dihadapkan pada kedua kondisi diatas, peran Koter selaku aparat Binter di daerah menjadi tumpuan harapan masyarakat baik dari etnis Madura maupun dari etnis Dayak. Peran Koter seperti Korem, Kodim dan Koramil dalam membantu tugas mengungsikan etnis Madura dari wilayah kerusuhan sangat dominan, walaupun timbul insiden antara unsur TNI dengan Brimob di Pelabuhan Sampit, Kotim, Kalteng. Upaya Binter di beberapa kabupaten sebelum kerusuhan terjadi telah melakukan pendekatan sampai dengan upaya paksa untuk mengungsikan sementara etnis Madura, agar tidak menjadi korban serangan masa etnis Dayak. Upaya ini dilakukan selain karena terbatasnya jumlah personil Koter dan tersebarnya pemukiman etnis Madura, juga karena tidak tersedianya pasilitas yang memadai sebagai tempat penampungan bagi etnis Madura. Penampungan etnis Madura di Kalteng diputuskan tidak dilakukan, selain rawan terhadap upaya pembunuhan, juga didasari oleh pengalaman daerah lain dalam menangani permasalahan sosial yang ditimbulkan di kemudian hari. Kasus pengungsian Pontianak, Kalbar untuk menampung dan melindungi para pengungisi di tempat sosial seperti lapangan olah raga, gedung milik pemerintah dan lain-lain telah menjadi masalah hingga saat ini. Kegiatan yang dilakukan Koter selama kerusuhan adalah sebagai berikut :
a. Melaksanakan pengawalan terhadap pengungsian yang dilakukan oleh aparat jajaran Polda Kalteng ke Banjarmasin.
b. Mengamankan obyek vital daerah baik yang ada di Propinsi maupun di kabupaten sesuai dengan penugasan yang diberikan oleh Kepolisian.
c. Melaksanakan patroli gabungan bersama aparat Kepolisian dan Pamda.
d. Membantu aparat Pemda mencari etnis Madura yang masih sembunyi di hutan untuk diamankan.
e. Melaksanakan pembinaan terhadap masyarakat melalui orang ke orang khususnya tokoh masyarakat untuk mencegah warganya melakukan tindakan pembunuhan dan pembakaran, pengerusakan dan perampasan harta benda milik etnis Madura.
f. Membantu Pemda setempat dalam mengatasi masalah penyediaan makan, kesehatan, pengumpulan, pengangkutan dan penguburan mayat korban kerusuhan.
g. Membantu Pemda setempat dalam mengatasi masalah pertikaian antar etnis agar tidak berkembang lebih jauh.
h. Membantu Pemda dalam pengadaan dapur umum dan tenda penampungan terhadap masyarakat yang ditampung sementara di instansi pemerintahan.
i. Membantu Kepolisian dalam menindak pelaku kerusuhan, mengadakan negosiasi dengan tokoh masyarakat untuk mencegah kerusuhan dan tindakan anarkis lainnya.
j. Membantu aparat Kepolisian dalam pengamanan wilayah sesuai pembagian sektor yang disepakati.
k. Khusus di Kabupaten Kobar, Kodim diberi kewenangan penuh untuk melakukan tindakan pengamanan terhadap masyarakat dengan menggunakan tiga satuan Yonif yang ada di sana. Keberhasilan Kodim setempat mengatasi pengusiran etnis Madura telah mendapat pujian masyarakat.

28. Paska Kerusuhan. Peran Koter paska kerusuhan terbatas pada upaya untuk mendinamisasikan peran aparat dan instansi terkait dalam melaksanakan fungsinya. Wujud kegiatan yang dilaksanakan seperti karya bhakti, pembinaan langsung dilapangan baik pada para tokoh maupun kelompok masyarakat yang tergabung dalam pengamanan swakarsa untuk menjaga pemukimannya masing-masing. Namun demikian karena trauma akibat pertikaian dan adanya pihak-pihak yang terus memprovokasi warga, ada rasa takut terjadinya serangan balik dan juga karena timbul ego kesukuan yang merasa menang perang, maka masyarakat terkesan kurang memperhatikan pembinaan yang dilakukan aparat Koter. Tetapi setelah terjadinya pertikaian antara masyarakat dengan anggota Brimob Kelapa Dua di Bunderan Besar, Palangka Raya setelah rombongan Presiden RI K.H. Abdulrahman Wahid melintasi lokasi tersebut, masyarakat membutuhkan peran TNI dalam mengendalikan keamanan di Kalteng. Walaupun secara kewenangan Kodal keamanan tetap pada Kapolda, tetapi kenyataan di lapangan Kodal secara pisik dikendalikan oleh Danrem 102/Pp. Hal ini terjadi karena personil Polda beserta keluarganya dikumpulkan di Mapolda, sebab adanya ancaman dari masyarakat untuk menyerang personil Polda termasuk keluarganya. Pada saat itu Polda Kalteng dan jajarannya yang berada di Palangka Raya termasuk Polresta Palangka Raya total tidak berfungsi dan hal ini berlangsung sekitar dua hari dua malam setelah akhirnya, Kapolda Kalteng menguasai kembali daerah sekitar Mapolda dan Bunderan Besar dengan radius sekitar kurang dari satu kilo meter persegi. Secara rinci keterlibatan Koter dalam memerankan Binter paska kerusuhan adalah sebagai berikut :
a. Melaksanakan kegiatan Karya Bhakti untuk membersihkan bekas-bekas kerusuhan dan kebakaran di wilayah pertikaian dengan melibatkan satuan TNI dan Kepolisian, Pemda dan masyarakat setempat.
b. Melaksanakan penjinakan bom rakitan dengan mengerahkan satu peleton Zihandak Denzipur 8, Dam VI/Tpr yang disinyalir banyak terdapat di lokasi pemukiman etnis Madura bersama unsur Gegana Brimob Polda Kalteng.
c. Membantu Pemda untuk mendata aset etnis Madura yang ditinggal mengungsi ke daerah lain.
d. Membantu aparat Kepolisian dan Pemda dalam menertibkan Pengamanan Swakarsa yang dibentuk masyarakat dan menjadi sangat meresahkan masyarakat lainnya.


PERMASALAHAN PEMBERIAN BANTUAN UNSUR TNI AD


29. Umum. Pemberian bantuan militer yang dilakukan TNI AD baik atas permintaan dari Polri maupun Pemda selama ini telah berulang kali dilakukan. Dalam beberapa kasus seperti di Aceh, Irian Jaya maupun di daerah lainnya, mekanisme pemberian bantuan militer telah berjalan sesuai dengan ketentuan yang ada, walaupun dalam pelaksanaannya mengalami permasalahan seperti halnya yang terjadi Kalteng pada saat kerusuhan antar etnis bulan Pebruari 2001. Secara teori sesuai aturan yang ada peberian bantuan relatif sangat mudah dilaksanakan, namun demikian dalam pelaksanaan dilapangan sering diketemukan kendala yang bersifat teknis, seperti masalah komando dan pengendalian, pemberian tugas dan masalah non teknis seperti kesalah pahaman yang dapat berkembang menjadi pertiakaian.

30. Landasan Hukum. Ketentuan tentang permintaan bantuan militer diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor: 16 Tahun 1960 yang mengarur tentang permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer dan Keputusan Menhankam Nomor : Skep / 920 / M / VIII / 1990 tanggal 2 Agustus 1999 tentang Tata Cara Bantuan Perkuatan Unsur TNI Kepada Polri. Kedua peraturan tersebut selama ini dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan Banmil oleh TNI kepada Pemda maupun kepada Polri seperti pada kasus di Kalteng, khususnya pada saat mengatasi kerusuhan antar etnis Madura dan Etnis Dayak. Pada saat pelaksanaan Banmil di Kalteng telah diketemukan beberapa masalah dilapangan untuk disikapi bersama, sebagai berikut :

a. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1960. Permintaan dan Pelaksanaan Bantuan Militer sesuai PP Nomor : 16 Tahun 1960 telah dilaksanakan pada saat terjadi kerusuhan antar etnis di Kalteng yaitu Gubernur Kalteng telah minta Bantuan Militer kepada Pangdam VI/Tpr. Sesuai Pasal 2 Ayat (1) dalam PP tersebut dinyatakan bahwa ; “ Kepala Daerah sebagai pemegang kekuasaan tertnggi dalam urusan dan keamanan umum di daerahnya. Ayat (2) menyatakan bahwa “ Untuk itu Kepala Daerah berhak menggunakan Polisi Negara dalam daerahnya”. Pasal 2 menyatakan sebagai berikut ; “ Bantuan militer dapat diminta dengan cara yang ditentukan dalam peraturan ini, apabila ternyata atau dapat diperhitungkan, bahwa Polisi Negara tidak cukup kuat atau tidak dapat bertindak pada waktu dan tempat yang dibutuhkan dengan alasan-alasan yang sah, untuk usaha :
a. Mencegah gangguan keamanan dan memulihkan ketertiban dan keamanan umum.
b. menjaga keselamatan dan keamanan umum apabila terjadi bencana alam atau dapat diduga akan terjadi.
c. menjaga bangunan-bangunan atau alat-alat yang sangat penting bagi negara atau bagi masyarakat, apabila ada kemungkinan pengerusakan bangunan-bangunan atau pencurian alat-alat bangunan-bangunan itu. Selanjutnya dalam Pasal 4 Ayat (1) menyatakan bahwa ; “ untuk usaha tersebut dalam pasal 3, maka yang berhak meminta bantuan militer untuk daerahnya ialah Kepala Daerah. [16] Atas dasar pertimbangan situasi saat itu dan dengan landasan PP tersebut, maka Gubernur Kateng telah minta bantuan militer sebanyak tiga satuan setingkat Yonif kepada Komandan Militer Daerah dalam hal ini Pangdam VI/Tpr. Atas dasar permintaan tersebut, Pangdam VI/Tpr telah memenuhi permintaan tersebut setelah ada persetujuan dari Panglima TNI. Adapun bantuan militer yang diberikan adalah satuan setingkat Yonif yang di BKO kan pada Danrem 102/Pp selaku Komandan Militer setempat dari Pangdam VI/Tpr adalah Yonif 412/Kostrad, Yonif 612 Dam VI/Tpr dan Yonif 700/Dam VII/Wrb. Selama pelaksanaan Banmil di Kalteng telah muncul permasalahan sebagai dinamika tugas di lapangan adalah sebagai berikut ;

Pertama, masalah Komando dan Pengendalian. Setelah pasukan TNI tiba di Kalteng, timbul pertanyaan siapa yang mengendalikan dan memberi tugas, sebab bantuan militer tersebut diberikan Panglima kepada Gubernur selaku yang meminta. Kenyataan dilapangan tugas-tugas di lapangan diberikan oleh Danrem 102/Pp dan setelah dilimpahkan kepada Dandim, maka tugas-tugas dan pengendalian diberikan oleh Dandim. Tidak ada tugas yang jelas seperti perintah operasi dan lain-lain, sehingga satuan yang diperbantukan bertindak ragu-ragu. Sesuai dengan PP Nomor : 16 Tahun 1960 Pasal 9 dinyatakan bahwa ; “ Di daerah dimana operasi militer dilaksanakan, Komandan Militer memegang pimpinan dan tanggung-jawab atas ketertiban dan keamanan umum”. [17] Apabila hal ini dilakukan, maka akan mengalami benturan dengan UU RI Nomor : 27 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menyatakan bahwa dalam keadaan damai atau tertib sipil maka kewenangan dan tanggung-jawab keamanan dan ketertiban umum berada pada aparat Kepolisian. Situasi yang ada di Kalteng secara hukum pada saat itu adalah situasi damai dan bukan merupakan daerah operasi militer.

Kedua, masalah Pemberian tugas. Pada saat terjadinya kerusuhan di Sampit, Kab. Kotim, Kalteng satuan TNI yang ada sekitar enam kompi infanteri. Kenyataan dilapangan tidak ada satupun tugas yang diberikan pada satuan TNI tersebut, walaupun sudah dikoordinasikan berulang kali. Akibat tidak diberikannya penugasan terhadap satuan TNI tersebut, pembunuhan di kampung-kampung terus berlangsung di malam hari, satuan pengamanan dari Kepolisian tidak ada ditempat, sementara satuan TNI AD berada di tenda-tenda hanya melakukan kegiatan patroli di siang hari ataupun tugas pengamanan obyek vital daerah. Kondisi tersebut terjadi kemungkinan disebabkan oleh karena Polda tidak pernah merasa minta bantuan militer, kecuali 2 SSK dari Yonif 621 Dam VI/Tp, sehingga merasa tidak perlu untuk mengerahkan satuan TNI lainnya yang ada di wilayah Korem 102/Pp saat itu. Menyikapi hal tersebut diatas Danrem 102/Pp selaku Komandan Militer di wilayah, telah mengerahkan satuan TNI yang ada di Wilayah Korem 102/Pp. Pengerahan tiga Yonif yang di-BKO-kan pada Korem 102/Pp atas permintaan Gubernur Kalteng pada awalnya sulit dilaksanakan. Setelah dikoordinasikan secara maksimal antara Kapolda, Danrem dan Pemda setempat baru satuan tersebut diberi tugas sebagai pengamanan wilayah dan pengamanan embarkasi di pelabuhan, walaupun akhirnya menimbulkan pertikaian dilapangan.

Ketiga, Masalah dukungan logistik. Selama ini tidak ada kejelasan tentang dukungan dana bagi satuan yang diperbantukan pada Pemda. Semestinya pengerahan satuan TNI untuk kepentingan apapun apabila telah merupakan keputusan pimpinan, maka pembiayaan menjadi beban Mabes TNI. Karena prosedur administrasi dukungan dana terlambat, sehingga Pemda memberi dukungan atau bantuan yang jumlahnya tidak tentu dan sesuai kemampuan daerah. Kondisi ini dapat menimbulkan masalah sebagai berikut : pertama, terlambatnya dukungan dana yang turun baik dari Pemda maupun Komando Atas, mendorong pimpinan TNI di wilayah berinisiatif mencari dukungan dana untuk menghidupi satuan TNI yang ada di wilayahnya. Hal ini selain telah menyimpang dari aturan, akan terus menyimpang bila ada kerja sama antara yang membutuhkan pengamanan dengan yang mengerahkan satuan tersebut. Kedua, pembiayaan oleh Pemda merupakan pengeluaran yang harus dipertanggung jawabkan karena dana tersebut adalah uang rakyat. Disisi lain akan ada dukungan dana operasi dari Komando Atas terhadap satuan tersebut sebagai konsekuensi dari operasi yang dilaksanakan dan dana ini harus dipertanggung jawabkan.

Terjadi duplikasi pembiayaan dengan menggunakan uang rakyat terhadap satuan yang beroperasi di daerah dan hal ini merupakan penyimpangan yang tidak terhindarkan dan mesti akan terjadi. Pertanyaan yang muncul dan menjadi masukan adalah, Pertama. apakah duplikasi penerimaan uang rakyat oleh satuan TNI yang beroperasi sah dan tidak melanggar hukum ?. Kedua, bagaimana bila dukungan operasi dari Mabes TNI tidak sampai pada satuan TNI yang beroperasi ?, karena sudah mendapat dukungan dana dari Pemda dan dari pihak lain seperti perusahaan yang secara kebetulan satuan pengamanan ditempatkan di lokasi perusahaannya. Dukungan dana juga akan diberikan oleh Kepolisian setempat, bila satuan TNI tersebut diperbantukan pada Kepolisian setempat karena dukungan dana akan didukung dari Mabes polri. Kondisi pendanaan yang tumpang tindih ini perlu disikapi, sehingga tidak menimbulkan celah pelanggaran yang akhirnya menjadi beban pejabat berikutnya.

b. Keputusan Menhankam Pangab Nomor : Skep / 920 / M / VIII / 1999. Pelaksanaan Keputusan Menhankam Nomor : 980 tahun 1990 secara teknis dapat dipahami oleh aparat Kepolisian selaku yang meminta maupun unsur TNI sebagai yang memberi bantuan. Pada kasus kerusuhan antar etnis di Kalteng, Polda Kalteng hanya meminta bantuan militer sebanyak dua kompi dan oleh Pangdam VI/Tpr diberikan dua kompi dari Yonif 621 Dam VI/Tpr. Permasalahan yang muncul setelah bantuan militer dilaksanakan adalah :

Pertama, masalah Komando dan Pengendalian. Pada awal kedatangan dua kompi senapan dari Yonif 621 terjadi mekanisme komando dan pengendalian kurang jelas dan ada indikasi kehadiran satuan tersebut menjadi beban bagi Kepolisian yang ada di jajaran Polda Kalteng. Selama masih belum diberikan tugas oleh Kepolisian, Kodal terhadap satuan tersebut dipegang oleh Dandim setempat. Pengerahan terhadap satuan yang BKO tersebut akhirnya dipaksakan untuk mengamankan obyek vital daerah yang ada di tempat penugasan dan hal ini terlaksana setelah Dandim setempat mendesak Kapolres untuk memberikan tugas pengamanan obyek vital daerah seperti PDAM, PLN, Telkom, TVRI dan gudang Dolog. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan Kepolisian tidak memberikan tugas pada satuan TNI adalah : Pertama, menghindari tanggung jawab memberi dukungan logistik pada satuan yang di-BKO-kan. Hal ini terlihat dari sistim logistik yang dilaksanakan oleh unsur kepolisian tidak jelas, sebab dukungan logistik diberikan dalam bentuk uang. Hal ini berbeda dengan satuan TNI yang didukung dengan dapur umum. Kedua, ada indikasi menghindar dari tanggung jawab kodal terhadap satuan TNI, hal ini disebabkan oleh karena Kepolisian tidak terbiasa mengerahkan satuan dalam hubungan besar seperti Kompi dan Peleton. Disamping itu selama kerusuhan personil kepolisian tidak pernah berada di tempat penugasan selama 1 X 24 jam. Kehadiran mereka terbatas mulai siang hari sampai pertengahan malan hari, sementara itu satuan TNI siap 1 X 24 jam dimana ditugaskan. Situasi sebaliknya terjadi di Pangkalan Bun Kab. Kobar Kapolres setempat secara sadar melihat dinamika masyarakat yang ingin mengusir etnis Madura yang jumlahnya puluhan ribu. Menyadari akan situasi sulit tersebut dan keterbatasan aparat kepolisian yang ada, maka Kodal wilayah secara pisik dilapangan diserahkan kepada Dandim setempat, walaupun tanggung-jawab keamanan secara umum masih pada Kapolres. Keadaan tersebut mengandung resiko, sebab setelah situasi menjadi relatif aman Kapolresnya segera diganti.

Kedua, masalah Pemberian tugas pada satuan TNI. Selama pelaksanaan BKO pada kepolisian, ada keengganan dari kepolisian untuk memberikan tugas pada satuan TNI. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : pertama, kehadiran satuan TNI mengurangi kegiatan kepolisian pada sektor tertentu seperti instansi perbankan dan perkantoran lainnya yang membutuhkan pengaman. Pada beberapa sektor yang memberikan imbalan uang sebagai jasa terhadap pengamanan akhirnya diserahkan juga setelah personil kepolisian tidak berani bertugas di sektor tersebut setelah mengalami konflik dengan masyarakat. Kedua, menghindari penugasan bersama atau dalam bentuk gabungan dengan satuan TNI. Kemungkinan hai ini disebabkan karena ada unsur gengsi bila Kepolisian dianggap tidak mampu, pada hal kenyataan dilapangan memang benar-benar tidak mampu.

Ketiga, masalah Dukungan Logistik. Sesuai dengan ketentuan dalam Keputusan Menhankam ini dukungan logistik diselenggarakan oleh Mabes TNI, walaupun pada awalnya harus ditanggulangi oleh satuan Koter setempat, apabila satuan yang di-BKO-kan tersebut tidak menyelenggarakan dapur umum. Seperti halnya penjelasan yang sama pada PP nomor 16 Tahun 1960 akan terjadi tumpang tindih dalam dukungan logistik nantinya. Hal ini disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut : Pertama, Pemda sebagai penguasa wilayah dimana mengetahui ada satuan TNI dari luar wilayah yang bertugas di daerahnya akan berupaya memberikan dukungan logistik sebagaai wujud balas jasa atas pengamanan yang dilakukan oleh unsur TNI yang di BKO kan tersebut di daerahnya. Kedua, Kepolisian yang merasa mendapat unsur bantuan atau BKO akan mengajukan dukungan logistik ke Komando Atasnya dan biasanya dukungan tersebut keluar setelah beberapa lama bertugas. Ketiga, dukungan logistik akan diberikan oleh Mabes TNI terhadap satuan yang melaksanakan operasi, sebagai mana diatur dalam Keputusan Menhankam tersebut.

Ketiga hal tersebut akan menjadi permasalahan sebab terjadi tumpang tindih dalam memberikan dukungan logistik pada satuan TNI yang melaksanakan bantuan militer pada Kepolisian di daerah. Dukungan logistik keempat akan datang dengan sendirinya apabila penempatan satuan TNI yang di BKO kan tersebut memberikan rasa aman pada instansi yang cukup memiliki dana untuk itu atau perusahaan yang merasa terlindungi dengan kehadiran satuan TNI dititip di lokasi perusahaannya. Sungguh enak memang apabila dukungan tersebut diterima secara utuh sesuai jumlah personil, lama waktu penugasan dan besarnya indek perorang. Kenyataan selama ini dukungan tersebut tidak sepenuhnya utuh diterima, tetapi harus dipertanggung jawabkan secara utuh, kecuali dari perusahaan yang membantu secara suka rela. Permasalahannya adalah satuan TNI dalam beroperasi telah mendapat dukungan logistik dari segala penjuru walaupun tidak utuh. Hal ini adalah penyimpangan yaitu penyalahgunaan keuangan negara yang terjadi karena kurangnya koordinasi dan sepertinya dibiarkan terjadi selama ini.

31. Pemahaman tentang Pemberian Bantuan. Ada indikasi terjadi pemahaman yang keliru tentang Banmil dari Kepolisian. Kemungkinan pemahaman oleh Kepolisian terhadap Banmil adalah wujud dari ketidak mampuan aparat kepolisian. Sebab pemahaman awal yang ada tentang Banmil, bahwa Banmil akan diberikan apabila Kepolisian tidak mampu mengatasi keadaan, baik karena personil belum siap, maupun karena permasalahan teknis lainnya. Dalam menyikapi kata-kata “Kepolisian tidak mampu “ tersebut, terlebih dalam masa saat ini dimana program Polisi mandiri sedang dikedepankan oleh Pimpinan Polri dalam rangka menegakkan supremasi hukum di tanah air, maka sulit bagi pinpinan Polri dalam segala strata untuk menerima Banmil selayaknya dalam pelaksana tugas. Hal ini hanyalah untuk jaga gengsi atau harga diri belaka, sehingga mengabaikan hakekat dari pengabdian dan pengayoman yang harus diberikan pada masyarakat.

Disamping penjelasan diatas, dari kedua ketentuan tersebut dapat diberikan beberapa penjelasan yang merupakan permasalahan lain sebagai mana diuraikan berikut ini. Permintaan bantuan oleh kepolisian dilandasi oleh perbandingan antara unsur TNI selaku unsur yang membantu, tidak akan melebihi dari unsur Kepolisian selaku unsur yang dibantu. Dengan pemahaman yang demikian, dalam rangka menjaga gengsi satuan dan menunjukan polisi yang mandiri dan profesional, maka kepolisian akan bertahan pada prinsip tersebut. Akibat dari pemahaman dan sikap tersebut, dalam kasus kerusuhan antar etnis di Kalteng yang berkembang menjadi konflik antar etnis Dayak dengan Kepolisian, walaupun sudah nyata-nyata tidak efektif dalam mengatasi masalah di lapangan, kepolisian masih menyatakan mampu dan menyatakan Kodal Keamanan masih pada Kapolda. Dengan sikap dan pemahaman yang demikian maka permasalahan yang ada dan terjadi di lapangan akan bertambah sulit diatasi. Hal ini diperparah lagi dengan adanya sikap dan prilaku dari aparat yang tidak profesional, sehingga kadang kala mempersulit dalam penanganan selanjutnya. Apabila hal ini tidak segera dicarikan jalan keluar, maka dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru dalam mekanisme pemberian bantuan di kemudian hari.

32. Masalah Perbedaan Persepsi Penugasan. Jauh sebelum meletus kerusuhan di Sampit, Kab. Kotim upaya untuk mencegah terjadinya kerusuhan telah dilakukan oleh Korem 102/Pp bersama jajarannya di daerah. Berbagai kegiatan yang telah terprogramkan dari Komando Atas baik melalui Kodam VI/Tpr ataupun langsung dari pusat telah terlaksana dengan baik dan lancar serta cukup bermanfaat bagi masyarakat. Di samping itu kegiatan yang merupakan kebijakan satuan seperti Karya Bhakti dan kegiatan pembinaan lainnya telah dilaksanakan untuk membantu masyarakat dalam mengatasi permasalahan yang terjadi di daerahnya. Semua kegiatan tersebut dilakukan oleh satuan TNI melalui Koter di daerah dalam rangka membina masyarakat, sehingga dapat mencegah terjadinya kegiatan masyarakat yang menjurus melanggar hukum dan kegiatan anarkis lainnya. Sementara itu Aparat Kepolisian yang ada di daerah dalam melaksanakan fungsinya di masyarakat cenderung mengedepankan penegakan hukum dari pada membina masyarakat sehingga tidak melanggar hukum. Dalam setiap penugasan aparat Kepolisian cenderung mencari dan menangkap pelaku kejahatan. Dari kedua sisi penugasan antara Koter dan Kepolisian terdapat perbedaan menjolok dalam aplikasi di lapangan yaitu Koter akan berusaha mencegah terjadinya pelanggaran, sehingga tidak timbul masalah di masyarakat. Di lain pihak Kepolisian akan berusaha untuk membiarkan pelanggaran terjadi sehingga dapat ditangkap sebagai alat pembuktian. Perbedaan penanganan masalah di lapangan seperti tersebut, terjadi sebelum kerusuhan, pada saat kerusuhan dan hingga saat ini di Kalteng.

Terlepas dari kepentingan tertentu di balik sikap kepolisian tersebut, hal ini telah menimbulkan friksi dan kesalahpahaman di tingkat personil pelaksana pada satuan Koter maupun Kepolisian. Adapun masalah yang muncul dan menimbulkan pemahaman negatif adalah sebagai berikut ; Pertama, Keterlibatan satuan Koter untuk melakukan pendekatan pada Tokoh Madura agar segera mengungsi sementara dari Kalteng, kecuali di Pangkalan Bun, Kab. Kobar, untuk mencegah terjadinya korban nyawa, telah menimbulkan persepsi di kalangan personil Kepolisisn, bahwa TNI membantu etnis Dayak melakukan pengusiran terhadap etnis Madura. Kedua, Persepsi penindakan oleh Kepolisian, pada saat terjadi kerusuhan tugas kepolisian adalah melindungi yang lemah. Dalam hal ini adalah etnis Madura, sehingga siapapun yang menyerang yang lemah harus dilingdungi termasuk bila perlu melumpuhkan dengan tembakan senjata. Dari kedua cara pandang dan sikap dalam penugasan tersebut, seolah-olah antara TNI dan Kepolisian telah memihak masing-masing etnis yang bertikai. Bagi TNI dalam memerankan fungsi Binter yang telah menyatu dengan masyarakat, maka pendekatan untuk mencegah terjadinya pelanggaran merupakan pilihan. Walaupun harus memisahkan sementara yang lemah guna mencegah timbulnya korban jiwa. Hal ini dilakukan oleh Korem 102/Pp beserta jajarannya di Kalteng, kecuali di Kab. Kobar, karena situasi yang berbeda di Kab. Kobar dan wilayah lainnya di Kalteng dan komitmen TNI untuk mencegah terjadinya pertikaian yang lebih luas serta mecegah jatuhnya korban jiwa yang lebih banyak. Sementara itu aparat Kepolisian ada indikasi cenderung melakukan penindakan terhadap yang melakukan pelanggaran dengan alasan penegakan hukum, walaupun harus menembak masyarakat, pada hal situasi amuk masa saat itu tidak memungkinkan cara demikian efektif dilakukan. Kenyataan yang ada akhirnya masyarakat dan Kepolisian mengalami konflik yang hampir menjurus pada penolakan unsur Kepolisian yang ada di daerah.

33. Masalah Pengerahan Personil Militer. Pengerahan personil di lapangan oleh pimpinan Kepolisian mulai tingkat Polda, Polres maupun Polsek selama kerusuhan di Kalteng tidak jelas. Hal ini sangat menghawatirkan pimpinan TNI di wilayah Korem 102/Pp baik Danrem, Dandim maupun Danramil, sebab tanpa pengerahan yang jelas keberadaan satuan TNI yang BKO tidak termanfaatkan dengan maksimal. Di lain pihak dikhawatirkan menganggurnya satuan TNI tanpa tugas yang pasti akan menimbulkan permasalah dengan lingkungannya. Berdasarkan pengalaman selama kerusuhan di Sampit, Kab. Kotim maupun di Palangka Raya satuan TNI yang BKO pada Kepolisian setempat telah menimbulkan masalah sebagai berikut ; Pertama, Satuan TNI tidak digunakan secara maksimal dan bahkan cenderung didiamkan. Adapun alasannya karena situasi masih bisa diatasi oleh aparat Kepolisian atau atas pertimbangan pimpinan Kepolisian satuasinya belum perlu mengerahkan satuan TNI. Kenyataan di lapangan menunjukan situasi yang ada cukup alasan untuk mengerahkan satuan TNI, karena situasi nyata-nyata tidak aman. Kedua, Pimpinan Kepolisian di daerah tidak mampu mengerahkan satuan TNI yang BKO kepadanya, sehingga satuan TNI yang BKO dan siap bertugas 1 X 24 jam menjadi hilang semangat karena harus menunggu tanpa tugas yang jelas. Bahkan pengerahan terhadap satuan Brimob daerah maupun Resimen Brimob dari Kelapa Dua Jakarta tidak terkendalikan selama bertugas di Kalteng. Ada indikasi pada malam hari mereka pulang kerumah masing-masing, pada hal hampir semua kegiatan dari kelompok masyarakat yang bertikai terjadi pada malam hari. Melihat kenyataan ini, dikhawatirkan personil TNI yang melaksanakan tugas dan siaga selama 1 X 24 jam, terpengaruh oleh ketidak acuhan unsur Kepolisian dalam melaksanakan tugas.


ANALISIS PERAN KOTER DALAM BINTER SELANJUTNYA

34. Umum. Keberhasilan gerakan pro demokrasi menjatuhkan rejim Orde Baru telah membawa bangsa Indonesia pada era baru yaitu Era reformasi. Tuntutan penghapusan peran Dwi Fungsi ABRI ( saat ini TNI ), penghapusan peran teritorial dan peran intelijen telah menjadi agenda sebagian kelompok masyarakat yang tidak menghendaki keterlibatan TNI pada masalah politik. Keterlibatan TNI pada masalah politik diyakini oleh kelompok masyarakat tersebut telah menghambat tumbuh dan berkembangnya demokrasi di Indonesia. Saat ini bangsa Indonesia telah mulai memasuki alam demokrasi bersama-sama bangsa-bangsa lainnya di dunia. TNI telah mengikrarkan diri masuk dalam Paradigma Baru Peran TNI sebagai realisasi tuntutan masyarakat agar TNI tidak terlibat dalam masalah politik praktis. Di masa lalu Dwi Fungsi TNI, Pembinaan Teritorial dan Kegiatan Intelijen merupakan fungsi-fungsi yang dilaksanakan TNI untuk mewadahi pengabdiannya kepada negara dan bangsa. Paradigma Baru Peran TNI telah meredefinisikan DFT menjadi Peran TNI. Saat ini tuntutan kedua untuk mengalihkan fungsi teritorial kepada fungsi pemerintahan telah menjadi wacana di tingkat Mabes TNI melalui Semiloka dan Workshop Teritorial yang diselenggarakan oleh Mabes TNI beberapa waktu lalu. Kemudian muncul pertanyaan, apakah pengalihan fungsi teritorial tersebut dalam rangka merealisasi tuntutan sebagian kelompok masyarakat?. Dan apakah fungsi inteljenpun akan dialihkan? Pertanyaan tersebut cukup meresahkan sebab selama ini pelaksanaan kegiatan tersebut diberikan kepada satuan TNI AD khususnya Koter dalam bentuk kegiatan Pembinaan Teritorial (Binter). Perasaan resah tersebut cukup beralasan setelah wacana pengahapusan Koter beberapa waktu lalu menjadi isu sentral. Namun demikian hasil riset yang dilakukan oleh sekelompok LSM telah meneduhkan keresahan tersebut, karena ternyata sebagian besar masyarakat menghendaki agar Koter tetap ada. Alasan masyarakat untuk minta Koter agar tetap ada, karena Koter diyakini dapat memberikan rasa aman kepada masyarakat. Munculnya Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri telah memisah secara tegas peran masing-masing yaitu TNI di bidang Pertahanan dan Polri dibidang Keamanan. Muncul pertanyaan, kalau demikian apakah Koter masih dibutuhkan ? sebab keamanan sepenuhnya merupakan peran dari Polri. Menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, melalui analisis peran koter kedepan sebagaimana diuraikan berikut ini, akan mencoba mencari formulasi baru dan sekaligus diharapkan mampu memberi jawaban terhadap pertanyaan diatas.

35. Peran Koter Dalam Keadaan Damai. Konsep Koter dimasa lalu dalam berbagai pembahasan pada seminar dan tulisan ilmiah dipahami sebagai konsep pemerintahan darurat. Dalam rangka mengantisipasi tidak berfungsinya pemerintahan sipil, maka di”back-up” dengan Koter dalam setiap level pemerintahan di daerah. Landasan pemikiran yang demikian didasari oleh adanya ancaman yang dihadapi negara saat itu dan belum tertatanya kewenangan yang tegas dari aparat pemerintahan daerah saat itu. Perkembangan dunia dan kondisi Indonesia saat ini, telah memberikan pemahaman baru tentang ancaman yang dihadapi serta kewenangan pemerintahan di daerah setelah dilaksanakannya Otonomi Daerah. Hal ini telah memberikan pemahaman baru terhadap keterlibatan Koter dalam masalah Binter, karena adanya perubahan terhadap pemahaman ancaman dan kewenangan yang ada. Agar lebih memahami tentang bagaimana Koter dengan Binternya kedepan dihadapkan pada perubahan pemahaman tersebut diatas, dapat dilihat dari beberapa aspek antara lain :

a. Landasan Hukum. Selama ini keterlibatan Koter dalam kegiatan Binter di daerah tidak kuat landasan hukumnya. Landasan hukum yang digunakan selama ini adalah : Pertama, Pembukaan UUD 1945 khususnya alinea ke pertama “ . . . .,maka penjajahan diatas dunia harus dihapuskan,. . . . dan keempat “ . . . . melindungi segenapbangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. . . . Kedua, UUD 45 yang telah diamandemen, Pasal 30 Ayat (1) menyatakan bahwa : “Tiap-tiap waraga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”. Ayat (2) menyatakan bahwa : “Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistim pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisisan Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama dan rakyat sebagai kekuatan pendukung”. Ayat (3) menyatakan bahwa : “Tentara Nasional Indonesia terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkata Udara sebagai alat negara bertugas mempertahankan, melindungi dan memelihara keutuhan dan kedaolatan negara”[18]. Ketiga, Keputusan MPR RI Nomor : VI / MPR / 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri, Pasat 1 menyebutkan bahwa : “Tentara Nasional Indonesia dan Kepolsian Negara Indonesia secara kelembagan terpisah sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing” Pasal 2 Ayat (1) menyebutkan bahwa : “ Tentara Nasional Indonesia adalah Alat negara yang berperan dalam pertahanan negara”. [19] Ayat (2) menyebutkan bahwa :“Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan”. Ayat (3) menyebutkan bahwa : “Dalam hal keterkaitan kegiatan pertahanan dan kegiatan pengamanan, Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia harus bekerja sama dan saling membantu”.[20] Keempat : Keputusan MPR RI Nomor : VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Indonesia, pada Pasal 1 menyebutkan bahwa : “ Tentara Nasional Indonesia merupakan bagian dari rakyat, lahir dan berjuang bersama rakyat demi membela kepentingan negara”. Pasal 2 Ayat (2) menyebutkan bahwa : “Tentara Nasional Indonesia merupakan alat negara yang berperan sebagai alat pertahanan negara bertugas pokok menegakkan kedaolatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, serta melindungi segenap bangsa serta seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara”. Ayat (3) menyebutkan bahwa : “Tentara Nasional indonesia melaksanakan tugas negara dalam penyelenggaraan wajib militer bagi warga negara yang diatur dengan undang-undang” [21] Semua aspek hukum yang disebutkan diatas merupakan keputusan politik yang belum memberikan kewenangan sebagai mana landasan hukum yang memenuhi syarat sebagai hukum posistif. Dengan demikian bila landasan hukum tersebut dijadikan landasan pelaksanaan Binter oleh Koter hanya merupakan alasan pembenaran dan merupakan aturan umum yang berlaku pada setiap warga negara. Sedangkan Koter sebagai unsur satuan operasional TNI yang berperan di bidang pertahanan di daerah dalam melaksanakan kegiatan akan bersentuhan dengan kepentingan masyarakat dan tidak jarang dapat menimbulkan friksi, maka keberadaannya harus dilandasi oleh peraturan yang jelas, kuat dan mengikat setingkat undang-undang.

Berkaitan dengan munculnya wacana tentang pengalihan fungsi teritorial sebgai fungsi pemerintahan dapat diberikan beberapa landasan hukum sebagai berikut : Pertama, UU RI Nomor : 20 Tahun 1980 tentang Pertahanan dan Keamanan Negara yang ada saat ini pelu dilakukan perubahan selain telah ada Ketetapan MRP Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri, juga undang-undang tersebut belum mencantumkan secara jelas keberadaan Koter yang melakukan fungsi Binter. Kedua, Undang-undang RI Nomor : 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi. Pasal 1 Ayat (2) mengatakan bahwa “ Mobilisasi adalah tindakan dan penggunaan secara serentak sumber daya nasional serta sarana dan prasarana nasional yang dibina dan dipersiapkan sebagai komponen kekuatan pertahanan keamanan negara untuk digunakan secara tepat, terpadu, dan terarah bagi penanggulangan setiap ancaman, baik dari luar negeri maupun dari dalam negeri “.[22] Dengan adanya undang-undang tersebut maka perlu adanya ketentuan yang memberikan kewenangan kepadaa instansi tertentu untuk melakukan pembinaan terhadap komponen kekuatan pertahanan negara tersebut melalui upaya pembinaan teritorial. Ketiga, Undang-undang RI Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 7 Ayat (1) menyatakan bahwa : “Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama dan kewenangan bidang lain”.[23] Dengan demikian kewenangan bidang pertahanan merupakan kewenangan Pemerintah Pusat. Pasal 8 Ayat (1) menyatakan bahwa : ”Kewenangan pemerintah yang dilimpahkan kepada Gubernur dalam rangka Dekonsentrasi harus disertai dengan pembiayaan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan tersebut”. Pasal 9 Ayat (1) menyatakan bahwa : ”Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta kewenangan dalam bidang tertentu lainnya”. Pasal 10 Ayat (1) menyatakan bahwa : ” Daerah berwenang mengelola sumber daya nasional yang tersedia di wilayahnya. . . . . Dan Ayat (2) menyatakan bahwa : “e. Bantuan Penegakan Keamanan dan kedaolatan negara”. Pasal 11 Ayat (1) menyatakan bahwa : ”Kewenangan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota mencakupsemua kewenangan pemerintah yang dikecualikan dalam Pasal 7 dan diatur dalam Pasal 9 “. Pasal 22 tentang kewajiban DPRD butir a. menyatakan bahwa : ”Mempertahanan dan memelihara Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Pasal 43 tentang Kewajiban Kepala Daerah butir a menyatakan bahwa : ”Mempertahanan dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana cita-cita Proklamsi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 ”.[24] Dari ketiga undang-undang tersebut menunjukan bahwa pembinaan teritorial dalam rangka upaya pertahanan negara perlu dilakukan dan kewenangan tersebut merupakan fungsi pemerintahan. Dengan demikian maka pengelolaanya berada pada pemerintahan di daerah.

b. Kemungkinan Ancaman. Sebagaimana layaknya suatu organisasi maka pembentukannya didasari oleh tujuan bersama yang harus dicapai. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut selain didukung oleh organisasi dan tugas yang diberikan, juga sangat tergantung dari ancaman yang akan dihadapi. Konsepsi ancaman terhadap NKRI saat ini masih menggunakan konsep ancaman dari luar dan dalam negeri. Dalam rangka menghadapi ancaman terhadap negara tersebut perlu pertimbangan sejauh mana keterlibatan komponen bangsa sehingga efektif dalam mengatasi ancaman tersebut. Dengan mengacu pada konsep Binter selama ini dan perkembangan satuasi dunia saat ini, maka konsepsi ancaman dirumuskan sebagai berikut : ideologi dan politik, ekonomi, sosial budaya, invasi, pemberontakan, kerusuhan masa, subversi dan ancaman sejenis seperti terror, infiltrasi, spionase, teknologi dan kepentingan nasional lainnya. Kewenangan institusi yang menangani ancaman tersebut dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu ada yang bersifat mutlak ditangani oleh suatu institusi dengan simbul tanda “X”. Ditangani bersama-sama dengan instansi lain dengan simbul tanda “O” dan memerlukan bantuan dari instansi lain dengan simbul tanda “+”. Keterlibatan setiap institusi dan dukungan serta kerjasama dengan instansi lain dalam menghadapi ancaman dapat dilihat pada Tabel : 4 tentang Kewenangan dalam menghadapi ancaman. Terlihat bahwa kewenangan yang dimiliki oleh TNI atau Koter meliputi :
Pertama, Penanganan terhadap ancaman yang mutlak merupakan kewenangan TNI adalah menghadapi invasi dan pemberontakan bersenjata. Hal ini dilandasi oleh ketentuan dalam Konvensi Jenewa tentang Hukum Humaniter yang mengatur masalah Combattan dan Non-Combattan. Kedua, Penanganan terhadap ancaman yang dilaksanakan bersama-sama dengan instansi lainnya pada ancaman subversi, peredaran Narkoba, Teroris dan ancaman terhadap kepentingan nasional lainnya. Pelibatan TNI pada aspek tersebut kareana ada kaitannya dengan ancaman yang berasal dari luar sehingga membutuhkan penanganan yang bersifat lintas sektoral dan membutuhkan langkah-langkah strategis. Ketiga, Penanganan terhadap ancaman yang membantu instansi lain yaitu dalam mengatasi ancaman di bidang ideologi dan menghadapi kerusuhan masa. Khusus pada kerusuhan massa tergantung dari keadaan yang terjadi dilapangan, bila karena situasi membutuhkan, maka keadaan darurat dapat diberlakukan. Dengan demikian kedepan keterlibatan TNI atau Koter tidak berdiri sendiri, tetapi bersama-sama dengan komponen bangsa lainnya.

c. Tuntutan Profesionalisme. Perkembangan dunia saat ini dan tuntutan kedepan akan berkembang dengan pesat dan penuh dengan persaingan. Tatanan dunia baru yang akan dituju memang masih belum jelas, tetapi jalan menuju kearah sana sudah jelas seperti globalisasi, perdagangan bebas dan lain sebagainya. Bangsa Indonesia sangat sadar bahwa dinamika dunia akan berkembang terus, dan bangsa Indonesia tidak mungkin diam dan tinggal diam dalam perkembangan tersebut. Dalam rangka ikut dan memainkan peran dalam pekembangan tersebut, maka segala bentuk pemikiran pesimis dan skeptis harus dijauhkan, agar tidak timbul sikap apreori yang cenderung akan menghambat proses untuk ikut dalam perkembangan tersebut. Tantangan utama bangsa untuk dapat bersama bangsa lainnya di dunia dalam perkembangan tersebut adalah meningkatkan daya saing dan hal itu didapat hanya dengan meningkatkan propesionalisme. Bagi TNI/Koter kedepan harus meningkatkan kemampuannya, sehingga dapat bersama-sama dengan bangsa lainnya menghadapi permasalahan dunia di kemudian hari. Selama ini tuntutan propesionalisme yang ada pada TNI adalah pada masalah teknis pertempuran dan penguasaan teknologi militer. Sedangkan Koter tuntutannya pada lima kemampuan teritorial meliputi kemampuan intelijen, pembinaan teritorial, pembinaan Ratih, Penguasaan Wilayah dan sebagai inovator pembangunan.

Pembahasan berikut ini akan mencoba mencari relativitas antara tuntutan profesionalisme TNI/Koter pada situasi damai maupun darurat dihadapkan pada perkembangan saat ini yang menghendaki keterlibatan TNI melalui koter dibatasi pada hal-hal sesuai dengan perannya. Berdasarkan peran yang diberikan kepada TNI yaitu dibidang pertahanan, maka tuntutan profesionalisme yang ada pada TNI adalah bertempur untuk menghadapi invasi dari luar maupun pemberontakan bersenjata yang terjadi di dalam negeri. Sedangkan Koter yang saat ini masih dituntut harus memiliki lima kemampuan teritorial, ke depan perlu diadakan penyesuaian sesuai dengan semangat Otonomi Daerah dan wacana yang berkembang tentang pengalihan fungsi teritorial menjadi fungsi pemerintahan.

Tabel : 5 mencoba untuk memberikan penjelasan tentang kemampuan yang harus dimiliki TNI dihadapkan pada situasi negara yaitu dalam keadaan damai dan darurat. Dari penjelassan dalam tabel tersebut, didapat tuntutan profesionalisme yang harus dimiliki oleh TNI adalah sebagai berikut : Pertama, mempunyai kemampuan dibidang bertempur. Dalam hal ini selain tehnik dan taktik serta strategi, juga harus dikuasai adalah telnologi perang sebagai alat yang akan digunakan dan dihadapi dalam pertepuran. Demikian juga kebijakan penyiapan dalam teknis pertepuran dan selaku pelaksana dilakuka oleh TNI. Hal ini sejalan dengan ancaman yang dihadapi negara yaitu invasi dan pemberontakan bersenjata di dalam negeri. Kedua, Kemampuan di bidang Intelijen. Hal ini mutlak diperlukan oleh TNI baik selaku penentu kebijaksanaan bersama Presiden dan pelaksana bersama dengan unsur community intelligent lainnya. Kemampuan intelijen yang tinggi akan mampu memberikan masukan kepada pimpinan negara dalam rangka mengatasi segala permasalahan bangsa. Hal ini menuntut adanya keterlibatan dari komponen bangsa lainnya. Kekuatan intelijen terletak selain karena naluri militer yang dimilikinya, akan sangat berhasil bila di dukung oleh para pakar sesuai dengan bidangnya masing-masing. Ketiga, Pembinaan Rakyat Terlatih ( Ratih). Dalam rangka menyiapkan upaya pertahanan negara dengan memanfaatkan potensi nasional yang ada di daerah, khususnya komponen demografi, maka pelibatan masyarakat sebagai komponen pendukung pertahanan sangat dibutuhkan dalam wawasan NKRI. Mengingat komponen masyarakat ada di daerah merupakan kewenangan pembinaan dari Pemda, maka TNI harus bekerja sama dengan Pemda untuk menyiapkan masyarakat menjadi kekuatan pertahanan. Dalam hal ini TNI bertindak selaku tenaga pelatih masyarakat. Keempat, keterlibatan TNI dalam masalah pembangunan dalam keadaan damai relatif tidak dibutuhkan, karena akan menjadi tumpang tindih dengan Pemda. Sedangkan dalam keadan darurat keterlibatan TNI pada kegiatan civic mission seperti menghadapi bencana alam dan tugas mobilisasi untuk kepentingan perang.

36. Peran Koter Dalam Keadaan Darurat. Peran Koter selama ini memang disiapkan untuk menghadapi keadaan darurat, sehingga organisasinya disesuaikan dengan organisasi militer dan kepentingan untuk membantu pemerintah dalam hal pembangunan. Pengaturan keadaan darurat yang berlaku saat ini adalah UU RI Nomor: 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya. Keadaan bahaya dalam undang-undang tersebut menjelaskan tentang keadaan darurat meliputi Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang. Memperhatikan ketentuan tersebut dihadapkan pada pengalaman selama ini, baik pada penanganan kasus pertikaian antaretnis di Kalteng, Kasus Ambon, Kasus Aceh dan Kasus Irian Jaya serta faktor yang berpengaruh dan ancaman yang dihadapi bangsa saat ini, dapat diketengahkan beberapa hal sebagai berikut :

a. Ketentuan Keadaan Darurat. Pembagian keadaan darurat seperti darurat sipil, darurat militer dan darurat perang bersifat eksklusif. Dengan pembagian tersebut dapat menimbulkan kerancuan pada masyarakat dan bahkan pada aparat dalam pelaksanaan tugas. Pedoman yang bersifat rinci memang baik bagi unsur pelaksana di lapangan, tetapi bagi masyarakat yang menjadi obyek akan sangat membingungkan, mengingat aturan yang ada sudah mengurangi rasa kebebasan dari individu masyarakat tersebut. Bagi aparat sekalipun, rincinya kewenangan yang dimiliki dapat dijadikan alasan pembenaran terhadap kekeliruan yang mungkin sengaja dilakukan dengan untuk kepentingan pribadi. Dilain pihak dengan adanya pembagian keadaan darurat yang disesuaikan dengan situasi yang berkembang kurang memberikan ketegasan dalam penerapan hukum. Tuntutan fleksibelitas suatu aturan hukum bukan pada isi hukum itu sendiri, tetapi pada keadaan dan penerapannya di lapangan. Penerapan suatu keadaan darurat secara bertahap dapat menimbulkan beberapa implikasi seperti : Pertama, bagi pelaku yang berkepentingan untuk menciptakan situasi untuk kepantingan tertentu, memiliki ruang manuver untuk menyiapkan keadaan yang menguntung pihaknya dan menempatkan aparat dalam posisi sulit. Disamping itu pelaku memiliki pengalaman dan menguasai medan dalam menghadapi situasi yang lebih sulit. Kebebasan, supremasi hukum dan penegakan HAM yang mereka tuntut telah mengurangi kebebasan masyarakat, melanggar HAM orang lain dan malahan melanggar hukum. Di sisi lain peluang yang ada dapat diperbesar mengingat dalam suasana kejenuhan masyarakat yang penuh dengan ketidakpastian, maka masyarakat akan berpaling kepada pihak yang dianggap mampu, dipercaya bisa memberi rasa aman dan memiliki legitimasi. Dengan kata lain untuk upaya preventif sistim tersebut kurang memiliki nilai tangkal. Kedua, bagi aparat timbul sikap menduga-duga situasi, sehingga kurang memiliki daya tangap terhadap tugas yang harus dihadapi. Timbul sikap pilih kasih dalam menghadapi tugas yang pada gilirannya dapat menurunkan disiplin pribadi aparat dalam merespon setiap masalah dilapangan. Dengan penjelasan tersebut diatas, maka ketentuan tentang keadaan darurat tidak perlu diklasifikasikan dalam bentuk darurat sipil, darurat militer dan darurat perang, tetapi cukup keadaan darurat saja. Hanya saja dalam menghadapi situasi yang terjadi dilapangan kewenangan yang diberikan kepada aparat dilapangan berbeda sesuai dengan ancaman yang terjadi. Dengan cara ini kelemahan yang ada dari aparat dapat dieleminir dengan memanfaatkan kekuatan yang ada pada faktor yang berpengaruh tersebut. Dengan sistim ini selain memiliki nilai tangkal yang cukup tinggi juga terdapat standarisasi tindakan aparat dalam merespon keadaan darurat.

b. Kewenangan penentuan keadaan darurat. Dalam Perpu Nomor : 23 Tahun 1959 tentang KB kewenangan menentukan KB dilakukan oleh Presiden dengan pertimbangan DPR, setelah mendapatkan laporan dan saran dari Gubernur dan disetujui oleh DPRD. Mekanisme ini kurang tepat pada situasi saat ini, khususnya pada laporan dan saran gubernur, dengan melihat berbagai kasus yang ada, seperti pertikaian antaretnis di Kalteng, Kasus Ambon, Kasus Aceh dan Kasus Irian Jaya. Adapun pertimbangan yang dapat diberikan adalah sebagai berikut : Pertama, Keadaan darurat terjadi sebagai akibat adanya ancaman bahaya berupa keadaan terganggunya keadaan atau ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan, pemberontakan bersenjata, atau keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI.[25] Memperhatikan rumusan tersebut, maka keadaan darurat termasuk bidang pertahanan dan keamanan yang merupakan kewenangan pusat. Dengan demikian maka pertimbangan-pertimbangan dan laporannya pun harus berasal dari aparat pusat yang ada di daerah. Hal ini akan memberikan visi yang sama tentang kepentingan pusat di daerah dan sesuai dengan kewenangannya. Disamping masalah gerakan politisasi yang bersifat lokal, pelanggaran HAM dan hukum di daerah dapat dieleminir. Peluang yang ada dengan mengedepankan aparat TNI, khususnya Satter dapat dieksploitir dengan memanfatkan kejenuhan masyarakat akan situasi kacau yang dialami selama ini dan kepercayaan yang tumbuh dalam masyarakat terhadap TNI. Bagi aparat sendiri kelemahan yang ada seperti masa lalu TNI yang kurang mendukung dan masalah kualitas pesonil aparat dapat dieleminir dengan kekuatan dari faktor internal yang berpengaruh. Kedua, Memperhatikan kasus pertikaian antar etnis yang terjadi di Kalteng yang telah nyata-nyata membawa korban jiwa dan harta benda yang cukup besar, hancurnya strata sosial masyarakat di daerah dan ada indikasi menjurus kearah gerakan separatis, ternyata masyarakat dan pemerintah daerah tidak menghendaki di berlakukannya keadaan darurat. Kriteria terganggunya ketertiban umum oleh adanya kerusuhan yang disertai dengan kekerasan sudah terbukti. Apabila tidak ditanggulangi secara cepat dan tepat dapat menjurus kepada pemberontakan bersenjata atau keinginan untuk memisahkan diri dari NKRI, indikasi kearah itu sudah ada. Kondisi ini terjadi disebabkan oleh beberapaa hal antara lain ada kecenderungan pemerintah daerah dan pemerintah pusat menjadikan situasi di daerah sebagai komoditas politik yang sarat dengan kepentingan. Pemerintah pusat dalam hal ini penguasa dari elit politik memanfaatkan situasi di daerah sebagai manuver politik golongannya. Keberhasilan penerapan kebijakan pemerintah pusat dapat dijadikan keberhasilan politik penguasa. Sedangkan bila terjadi kegagalan dapat dilimpahkan sebagai akibat kesalahan tehnis dalam pelaksanaan dilapangan. Sementara itu pemerintah daerah yang juga elit politik lokal, merasa prestige pemerintahannya akan jatuh, bila diberlakukan keadaan darurat, karena menyangkut masalah tanggung jawab kepala pemerintahan di daerah. Indikasi lain adalah upaya daerah untuk mempertinggi nilai tawar daerah terhadap pusat, sehubungan dengan pelaksanaan otonomi daerah yang tersendat atau memang ada keterlibatan sebagaian besar oknum pejabat daerah dibalik semua gerakan yang menimbulkan kerusuhan tersebut. Dari penjelasan tersebut maka dapat disimpulkan bahwa laporan dan saran kepada pemerintah pusat merupakan kewenangan aparat pusat yang ada di daerah untuk dijadikan pertimbangan dalam memutuskan pemberlakuan keadaan darurat.

c. Penanggung Jawab keadaan darurat. Pengendalian kegiatan dalam keadaan darurat sesuai UU RI Nomor : 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya adalah Gubernur selaku Kepala Daerah dibantu oleh Kepala Kepolisian Daerah dalam keadaan darurat sipil dan pejabat militer setempat dalam keadaan darurat militer dan darurat perang. Ketentuan ini banyak mengandung kelemahan dan kendala dilapangan sesuai dengan pengalaman selama ini. Dalam UU RI Nomor : 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara RI Pasal 40 (1) mengatakan bahwa : “ Presiden menyatakan berlakunya keadaan bahaya untuk seluruh wilayah negara ataupun sebagian dari padanya sesuai dengan intensitas ancaman yang dapat membahayakan kehidupan masyarakat atau kelangsungan hidup bangsa dan negara serta keutuhan wilayah maupun persatuan dan kesatuan nasional”.[26]

Selanjutnya dalam penjelasan undang-undang tersebut dikatakan “ Hal-hal yang yang mendasari kewenangan presiden untuk mengeluarkan pernyataan berlakunya keadaan bahaya diantaranya : a. terjadinya pemberontakan atau perlawanan bersenjata terhadap kedaolatan negara atau terjadinya bencana yang mengancam keamanan dan ketertiban hukum dan dikhawatirkan tidak dapat diatasi oleh unsur-unsur kekuatan pertahanan keamanan negara secara biasa; b. terjadi hal-hal yang langsung atau tidak langsung dapat mengakibatkan timbulnya sengketa bersenjata; c. timbulnya hal-hal yang dapat membahayakan kelangsungan hidup negara.[27] Sementara itu dalam Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia, pasal 9 (1) “Dalam keadaan darurat Kepolisian Negara RI memberikan bantuan kepada TNI, yang diatur dalam undang-undang”[28]. Selenjutnya dalam UU RI Nomor : 28 Tahun 1997 tentang Kepolisian Negara RI pasal 13 “ Kepolisian Negara RI bertugas : a. selaku alat negara penegak hukum memelihara serta meningkatkan tertib hukum; b. dan seterusnya . . . ” [29] Memperhatikan penjelasan dan kutipan tersebut diatas dapat direkomendasikan beberapa hal sebagai berikut : Pertama, dalam keadaan darurat terjadi situasi “anomali” yaitu hukum tidak berfungsi dalam kehidupan masyarakat. Apabila hal ini tidak segera diatasi maka akan dapat menjurus pada terjadinya kerusuhan yang lebih besar. Akibatnya aparat dapat dituduh melalaikan kewajibannya melindungi masyarakat dan hal ini merupakan pelanggaran HAM. Kedua, dalam keadaan darurat tugas kepolisian adalah membantu TNI untuk mengembalikan wibawa hukum. Dengan penjelasan tersebut maka tanggung jawab pengendalian dalam keadaan darurat merupakan kewenangan pejabat militer setempat. Hal ini perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah dan pihak legislatif, sebab permasalahan bangsa kedepan terletak pada mekanisme hubungan pemerintah pusat dan daerah. Apabila hal ini kurang mendapat perhatian, maka kasus yang sangat potensial muncul dibeberapa daerah saat ini, dapat menjadi pemicu terjadinya disintegrasi bangsa.


KESIMPULAN DAN SARAN

37. Kesimpulan. Menyimak pembahasan tersebut diatas dan dengan tetap berpedoman pada maksud dan tujuan tulisan ini, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut :

a. Kerusuhan antar etnis yang terjadi di Kateng pada bulan Pebruari 2001 telah menelan ratusan korban jiwa dan miliyaran rupian dari harta benda yang hancur, rusak dan terbakar merupakan musibah akibat adanya :

1) Kelemahan mendasar aparat di segala sektor dalam upaya membina masyarakat baik melalui penyelenggaraan fungsi pemerintahan oleh Pemda dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, penegakan hukum oleh aparat hukum dalam rangka meningkatkan rasa keadilan dalam masyarakat dan pembinaan masyarakat dan pembinaan teritorial oleh Koter dan Kepolisian dalam rangka memelihara keamanan dan stabiltas di Kalteng. Kelemahan tersebut terjadi karena masalah kondisi geografis yang luas dan sulit, kondisi demografi yang tersebar dan rendah SDM serta kurangnya dukungan dana, pasilitas bagi aparat di daerah.

2) Kepentingan politik lokal dalam rangka mempertinggi nilai rawar daerah terhadap Pemerintah Pusat dengan memanfaatkan secara sistimatis permasalahan di daerah dan situasi yang berkembang saat itu, seperti perasaan terhina dan martabat serta harga diri etnis Dayak yang terinjak-injak, sehingga berubah menjadi kebencian kepada etnis Madura. Merasa diperlakukan tidak adil dari segi hukum dan kebijakan di masa lalu yang sentralistis, sehingga sangat merugikan masyarakat di daerah. Di samping itu eforia reformasi dengan isu demokratisasi yang menjamin kebebasan telah melahirkan isu putra daerah, yang selanjutnya berkembang menjadi sentimen etnis dan kecemburuan sosial pada etnis Dayak kepada etnis pendatang khususnya etnis Madura.

b. Selama terjadi kerusuhan antar etnis di Kalteng telah timbul hambatan karena permasalahan hukum dan kewenangan, sehubungan dengan upaya mengatasi kerusuhan tersebut. Hambatan tersebut timbul karena adanya perubahan paradigma setelah berlakunya Otonomi Daerah dan ketentuan perundang-undangan lainnya sebagai berikut :

1) Setelah berlakunya Otonomi Daerah, maka kewenangan pengelolaan potensi wilayah merupakan kewenangan Pemda, dengan demikian telah menempatkan Koter/TNI pada posisi yang sulit untuk secara langsung melakukan kegiatan Binter, terlebih dengan adanya pemisahan Peran TNI dan Polri setelah ditetapkannya Keputusan MPR Nomor : VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri masing-masing di Bidang Pertahanan dan Bidang Keamanan. Posisi sulit yang dialami TNI walaupun akhirnya dilakukan juga tindakan tegas, setidaknya telah menimbulkan rasa was-was di kalangan prajurit dalam bertindak.

2) Walaupun telah ada ketentuan Bantuan Militer baik yang diatur dalam PP Nomor : 16 tahun 1963 tentang Banmil kepada Pemda maupun Kepmen Hankam Nomor : Kep/920/M/1997 tentang Banmil kepada Polri, kenyataan yang terjadi Banmil yang diberikan tersebut tidak digunakan secara maksimal oleh Kepolisian di daerah. Sementara itu Banmil kepada Pemda tidak diberikan penugasan, karena dalam keadaan damai tanggung jawab berada pada Gubernur di bantu oleh Kapolda.

3) Pemerintah Daerah dan DPRD telah menolak tawaran Pemrintah Pusat untuk memberlakukan keadaan darurat di Kalteng, sehingga korban jiwa terus bertambah dan kerugian harta benda terus meningkat. Penolakan diberlakukannya Keadaan Darurat telah memperkuat sinyalemen kepentingan politik daerah untuk mempertinggi nilai tawar dengan Pemerintah Pusat. Di samping itu terjadi bias pemahaman hukum dalam UU Nomor : 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya terutama pembagian keadaan darurat menjadi tiga yaitu Darurat Sipil, Darurat Militer dan Darurat Perang serta kewenangan Gubernur selaku Kepala Daerah dalam menilai situasi di daerah dan menyarankan keadaan darurat kepada Presiden. Semestinya kewenangan tersebut berada pada Pemerintah Pusat melalui aparat Pusat yang berada di daerah.

c. Menyikapi perkembangan bangsa Indonesia saat ini yang telah berubah dan akan terus berubah dengan pesat serta dilatar belakangi oleh situasi kerusuhan antar etnis di Kateng, maka Koter kedepan dirumuskan sebagai berikut :

1) Memiliki landasan hukum yang jelas dalam bentuk setingkat undang-undang dengan kewenangan yang jelas dan merupakan bagian dari sistem nasional serta tidak berdiri sendiri. Dalam pelaksanaannya ada kegiatan yang merupakan kewenangan mutlak, didukung oleh komponen bangsa lainnya dan dapat membantu tugas-tugas dari komponen bangsa lainnya.

2) Memiliki landasan profesionalisme yang tinggi dalam melaksanakan tugas yang tercermin dari sikap tidak mengambil alih kewenangan institusi lainnya. Dalam pelaksanaannya tercermin pada kultur militer yaitu kemampuan untuk bertempur dengan segala aspek pendukungnya.

3) Memiliki Visi dan misi untuk memelihara dan menjaga keutuhan dan kedaolatan Negara Kesatuan RI dengan dilandasi oleh nilai kejuangan yang tinggi. Dalam aplikasinya adalah prajurit pejuang yang lahir dari rakyat, berjuang bersama rakyat dan untuk kepentingan negara dan bangsa.

38. Saran. Dari pembahasan dan kesimpulan diatas, untuk lebih efektinya Koter dalam melaksanakan tugas disarankan hal-hal sebagai berikut :

a. Koter di masa depan apapun bentuk dan tugas yang diberikan, harus memiliki landasan hukum yang jelas, mengikat dan tegas setingkat undang-undang.

b. Peran Koter di masa depan harus dalam sistim nasional dan dilandasi oleh profesionalisme yang tinggi terutama di bidang :
1) Pertahanan dalam rangka menghadaapi ancaman dari luar.
2) Keamanan Nasional dalam rangka menghadapi ancaman dari dalam negeri seperti pemberontakan bersenjata dan lain-lain.
3) Intelijen dalam rangka menghadapi gangguan sistimatis terhadap negara dan untuk kepentingan strategis lainnya seperti melindungi kepentingan nasional.
4) Kepelatihan Rakyat dalam rangak meningkatkan sadar Bela Negara
5) Peran lainnya dalam rangka kegiatan civic mission, agen pengembangan teknologi militer, serta bantuan militer pada Polri dan Pemda.


P E N U T UP


39. Pengalaman masa lalu telah menempatkan TNI pada posisi dominan, sehingga merasa serba bisa dan mendapatkan hak-hak istimewa di masyarakat. Kedepan TNI dengan unsur Koter atau entah apapun namanya, harus memiliki komitmen yang kuat dalam mengabdikan diri pada negara dan bangsa dengan dilandasi oleh etika moral yang luhur. Kehadiran TNI dekat dan diterima oleh rakyat, yang pada akhirnya dapat memelihara kebersamaan dan kesetaraan di masyarakat, sehingga Sishankamrata dapat terwujud dalam rangka mempertahankan keutuhan dan kedaolatan NKRI.

40. Demikian tulisan ini dibuat sebagai study kasus kerusuhan antar etnis di Kalteng, semoga dapat memberikan masukan dalam rangka menentukan kebijakan terhadap Koter di masa depan.


Palangka Raya, 16 Agustus 2001



DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN. ………………………………………………………. 1
1. Umum……………………………………………………………. 1
2. Maksud dan Tujuan ……………………………………………. 2
3. Ruang Lingkup dan Tata Urut ………………………………… 3
4. Metoda dan Pendekatan. ……………………………………. 3
5. Pengertian………………………………………………………. 3

II KONDISI WILAYAH KALIMANTAN TENGAH………………………. 3
6. Umum. …………………………………………………………… 3
7. Kondisi Geografi………………………………………………… 4
8. Kondisi Demografi. . ………………………………………….. 6
9. Kondisi Kekayaan Alam. .……………………………………… 7
10. Kondisi Sosial…………………………………………………… 9

III LATAR BELAKANG TERJADINYA KERUSUHAN ANTAR ETNIS.. 11
11. Umum. …………………………………………………………… 11
12. Latar Belakang Sejarah. . . …………………………………… 12
13. Latar Belakang Sosial Budaya………………..………………. 13
14. Latar Belakang Penegakan Hukum………………………….. 15
15. Latar Belakang Penyelenggaraan Pemerintahan…………… 16
16. Latar Belakang Politik…………………………………………. 17
17. Latar Belakang Ekonomi……………………………………… 18

IV MASALAH-MASALAH DALAM PELAKSANAAN BINTER SAAT
KERUSUHAN ANTAR ETNIS DI KALTENG. ……………………… 19
18. Umum. …………………………………………………………. 19
19. Masalah Kondisi Wilayah di Kalteng………………………… 20
20. Masalah Kondisi Sosial Masyarakat Kalteng………………. 23
21. Masalah Pembinaan oleh Aparat di Daerah……………….. 28
/22. Masalah. . . . . . .

22. Masalah Hukum dan Tataran Kewenangan……………….. 29
23. Masalah Sumber Daya Manusia Binter……………………. 31
24. Masalah Keterbatasan Dana Binter………………………… 32

V PERAN KOTER DALAM MENGATASI KERUSUHAN ANTAR ETNIS
25. Umum…………………………………………………………. 32
26. Sebelum Kerusuhan…………………………………………. 33
27. Saat Kerusuhan……………………………………………… 35
28. Paska Kerusuhan……………………………………………. 37

VI PERMASALAHAN PEMBERIAN BANTUAN UNSUR TNI AD…. 38
29. Umum. ……………………………………………………….. 38
30. Landasan Hukum………. ………………………………….. 38
31. Pemahaman Tentang Pemberian Bantuan………………. 44 32. Masalah Perbedaan Persepsi Penugasan……………….. 45
33. Masalah Pengerahan Personil Militer…………………….. 47

VII ANALISIS PERAN KOTER DALAM BINTER SELANJUTNYA… 47
34. Umum………………………………………………………… 47
35. Peran Koter Dalam Keadaan Damai…………………….. 48
36. Peran Koter Dalam Keadaan Darurat……………………. 55

VIII KESIMPULAN DAN SARAN……………………………………… 60
37. Kesimpulan. …………………………………………………. 60
38. Saran. ……………………………………………………….. 62

IX PENUTUP……………………………………………………………. 63
39. Pengalaman masa lalu……………………………………… 63
40. Demikian……………………………………………………… 63
________________________









STUDY KASUS KERUSUHAN ANTAR ETNIS
DI KALIMANTAN TENGAH
_______________________________________________________

DISUSUN DALAM RANGKA APEL DANREM DAN DANDIM
TAHUN 2001































Palangka Raya, 16 Agustus 2001






DAFTAR KEPUSTAKAAN

1. Kalimantan Tengah Dalam Angka, tahun 1998 oleh BPS Kalimantan Tengah.
2. Buku Paradigma Baru Peran TNI abad XXI terbitan tahun 1998 oleh Sesko TNI.
3. Buku Petunjuk Teritorial TNI AD terbitan 1992 oleh Suad.
4. Buku Vademikum Teritorial tahun 1988 terbitan Suad.
5. Buku Laporan Danrem 102/PP tetang Pertikaian Anter Etnis di Kalteng.
6. Buku Renbinter Korem 102/PP tahun 1998.
7. Undang-Undang RI Nomor : 20 Tahun 1982 tentang Hankamneg
8. Undang-Undang RI Nomor : 28 Tahun 1997 tentang Polri, terbitan Tahun 1998.
9. Hasil Ketetapan MPR RI Masa Sidang 7 - 18 Agustus 2000, terbitan Tahun 2000.
10. Undang-Undang RI Nomor : 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.
11. Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya.
12. Buku Paradigma Baru Peran TNI ( Sebuah Upaya Sosialisasi ) terbitan Juni 1999.
13. TNI Abad XXI, Redefinisi, Reposisi dan Reaktualisasi Peran TNI dalam Kehidupan
Bangsa. Terbitan tahun 1999.
14. Undang-Undang RI Nomor : 22 Tahun 1999 tetang Otonomi Daerah.
15. Hasil Perubahan Kedua UUD 1945, terbitan tahun 2000.
16. Undang-Undang RI Nomor:27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi.
17. Buku Merah Kerusuhan Antar Etnis Di Kalteng, LMMDDKT Tahun 2001
18. Buku Hasil Kongres Rakyat Kalteng Tahun 2001.
19. Pertikaian Antar Etnis di Indonesia, Makalah Prof. Selo Sumarjan, Tahun 2000.
20. Lembaran Negara RI Nomor : 1-177 Tahun 1960.


------------------------------------







LAMPIRAN - F


Tabel : 4 ANCAMAN TERHADAP NEGARA DAN KEWENANGAN INSTANSI


ANCAMAN
INSTITUSI
YANG BERWENANG
MENANGANI
ANCAMAN
TERHADAP NEGARA DAN
BANGSA
I
D
E
O
L
O
G
I
E
K
O
N
O
M
I
SO
SI
AL
&
BU
DA
YA
I
N
V
A
S
I
PEM
BE
RON
TAK
AN
BER
SEN
JA
TA
KE
RU
SUH
AN
SO
SI
AL
DLL
T
E
K
N
O
L
O
G
I
S
U
B
V
E
R
S
I
N
A
R
K
O
B
A
.
T
E
R
O
R
I
S

KE
PEN
TI
NGAN
NASIONAL
LAIN
NYA

TNI / KOTER


+

-

-

X

X

+

-

O

O

O

O

POLRI


-

O

O

O

O

X

O

O

O

X

O

PEM. PUSAT


X

X

X

O

O

X

X

X

X

O

X

PEM. DAERAH


X

X

X

O

O

X

X

O

X

O

O

Keterangan : X Kewenangan mutlak.
O Kewenangan bersama.
+ Membantu Instansi lain.























LAMPIRAN - G

Tabel : 5 TUNTUTAN KEMAMPUAN KOTER




KEADAAN NEGARA


KEMAMPUAN

KEADAAN DAMAI


KEADAAN DARURAT

KETERANGAN

POLICY
ACTOR
POLICY
ACTOR


BERTEMPUR


TNI

TNI

TNI

TNI

KOMPONEN UTAMA

INTELIJEN

PRESIDEN
TNI

TNI
PRESIDEN
TNI

TNI

BERSAMA INS-TANSI LAIN

PEMBINAAN TERITORIAL


PRESIDEN

PEMDA

PRESIDEN

PEMDA/
TNI

MOBILISASI

PENGUASAAN
WILAYAH


PEMDA

PEMDA

PEMDA

PEMDA


PEMBINAAN
RATIH


PRESIDEN

TNI/
PEMDA

PRESIDEN

TNI

SADAR BELA
NEGARA

INOVATOR
PEMBANGUNAN



PRESIDEN

PEMDA/
TNI

PRESIDEN

PEMDA/
TNI

CIVIC MISSION/
ATASI BENCA-NA ALAM DLL

Keterangan : Keterlibatan instansi lain dalam rangka mewadahi aspek kepakaran
yang ada pada masyarakat.






LAMPIRAN - H

DAFTAR PENGERTIAN


1. Rumah Betang atau Rumah Besar. Budaya masyarakat Kalteng yang secara fisik memberikan simbul kehidupan dalam sebuah rumah besar yang dihuni oleh suatu keluarga. Hubungan keluarga tersebut selain terbentuk karena ikatan darah keturunan juga dapat terjadi karena diangkat sebagai keluarga karena sesuatu hal. Kawin dengan sanak keluarga dari keluarga yang mendiami rumah besar tersebut. Secara simbolis merupakan penerimaa masyarakat lain dalam kelompoknya dengan alasan tertentu. Sebagai contoh seorang yang pernah berurusan secara hukum seperti membunuh dan lain sebagainya, apabila sudah diselesaikan secara adat seperti membayar “jipen” atau denda adat dengan tulus, maka pelaku pembunuhan tersebut dapat dianggap sebagai keluarga. Demikian juga contoh lainnya seperti mengikuti adat istiadat setempat dan bergaul dengan baik dilingkungan masyarakat setempat sudah dianggap hidup dalam budaya rumah besar tersebut. Pada prinsipnya budaya Rumah Betang berarti dapat menerima masyarakat pendatang lain dalam wilayahnya asalkan masyarakat pendatang tersebut dapat menyesuaikan diri dengan adat dan budaya setempat.

2. Budaya Sebelas Aliran Sungai Yang Bermuara di Laut Selatan. Pada dasarnya sama dengan budaya Rumah Betang yaitu dapat menerima pendatang ke Kalteng dan bergabung layaknya laut yang menerima segala macam yang mendatanginya dan yang datang harus bisa merasakan asinnya garam di laut. Mengandung pengertian adalah pendatang dapat menyesuaikan dengan kondisi Kalteng yang ada. Sebaliknya bila masyarakat pendatang tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungannya, pada awalnya etnis Dayak masih memaklumi dan bahkan bersedia mengalah. Kondisi ini terlihat dari kebiasaay masyarakat Dayak yang lebih suka mengalah dan menyingkir dari segala konflik atau pertikaian. Sebagai manusia biasa etnis Dayak juga memiliki kebiasaan buruk dimasa lalu yaitu Ngayau, maka permasalahan yang ada akan diselesaikan dengan cara dan adatnya sendiri.

3. Budaya Ngayau. Budaya atau tradisi ini merupakan kebiasaan yang terbentuk dengan adanya kepercayaan Kaharingan yang menganggap bahwa manusia di dunia berhutang pada leluhurnya yang berada di alam baka. Untuk membayar hutang tersebut maka harus ada persembahan kepada para leluhur tersebut dalam bentuk kepala manusia sebagai simbul budak-budak yang akan melayani leluhur tersebut di alam baka. Kepala manusia tersebut dipersembahkan dalam suatu acara adat “Tewah” yaitu pengumpulan tulang belulang nenek moyang yang telah dikuburan, selanjutnya disimpan dalam belanga atau guci. Pada masanya merupakan suatu prestise apabila bisa mempersembahkan kepala manusia dari rtnis atau warga di lain daerah. Dalam pelaksanaan mencari kepala manusia tersebut berkembang menjadi perburuan dan mengadu kekuatan gaib. Saat ini ada salah satu tarian Dayak yaitu “ngayau” yang disakralkan oleh masyarakat Dayak di Kalteng. Dari kebiasan inilah muncul perang suku dan berakhir dengan perjanjian Tumbang Anoi tahun 1882.

___________________
















KATA PENGANTAR


Atas seijin dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa Karangan Militer (Karmil) ini dapat terhimpun dalam satu buku Himpunan Karmil. Buku ini berisi enam buah Karmil yang merupakan tulisan yang membahas tetang pembinaan teritorial dengan segala aspeknya di masa depan. Adapun Karmil tersebut meliputi : Pertama, “ Upaya Peningkatan Pelaksanaan Pembinaan Teritorial di Wilayah Korem 102/Panju Panjung“ Kedua, “Mekanisme Hubungan Koter Dengan Infra dan Supra Struktur di Daerah”. Ketiga, “Konsepsi Aktualisasi Binter Dalam Rangka Menyiapkan Ketahanan Wilayah“ Keempat, “Upaya Koter Dalam Rangka Mendorong Fungsi Penerangan, Olah Raga dan Sosial di Daerah “ Kelima, “ Kewenangan Satuan Teritorial Dalam Menghadapi Keadaan Darurat di Wilayah” dan yang keenam, “ Study Kasus Kerusuhan Antaretnis di Kalimantan Tengah “

Himpunan Karmil ini merupakan penugasan Komandan Korem 102/Pp periode tahun 1999 s/d 2001 kepada penulis selaku Perwira Staf Korem 102/Pp dalam rangka berbagai keperluan seperti bahan UKP penulis sendiri, makalah Apel Dansat dan makalah Apel Danrem tahun 2000/2001. Penulisan ke enam Karmil ini banyak mendapat petunjuk dan masukan dari Komandan Korem 102/Pp dan rekan perwira lainnya, sehingga menjadi sebuah buku himpunan Karmil sebagai mana dapat dibaca berikut ini. Walaupun masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan, penulis memberanikan diri untuk menyumbangkan himpunan tulisan ini pada perpustakaan satuan. Harapan penulis agar para Perwira lainnya termotivasi berbuat hal yang sama, sehingga timbul pembiasaan dalam diri sendiri untuk menuangkan ide-ide yang muncul dari pengalaman pribadi menjadi Karmil. Selain dapat membantu pimpinan dalam pembuatan Karmil atau tulisan lainnya, patut menjadi kebanggaan sendiri bila berhasil menyumbangkan Karmil pribadi kepada satuan masing-masing. Tanpa bermaksud menyombongkan diri, penulis dengan rasa bangga dan penuh optimisme ingin mengajak para Perwira untuk mau menulis pengalaman pribadi masing-masing menjadi Karmil.

“Do the Best and Good Luck”

Palangka Raya, 9 September 2001



PROFIL PENULIS


Data Pribadi : Nama : I Wayan Midhio, Pangkat : Letnan Kolonel Kavaleri Nrp 29586 Jabatan Dandim 1016/Palangka Raya. Lahir di desa Serongga, Kec. Gianyar, Kab. Gianyar, Prop. Bali tanggal 27 Desember 1959 dari orang tua laki bernama I Wayan Mungkerig seorang Pekaseh (kepala Subak di Bali) dan ibu bernama Ni Wayan Menter yang sehari-hari membantu pekerjaan suami sebagai petani. Menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar tahun 1972 selama enam tahun di desa Serongga, menamatkan pendidikan di Sekolah Menengah Pertama tahun 1975 di SMPN Gianyar dan pada pertengahan tahun 1979 menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas di SMAN Gianyar. Setelah tamat dari SMA langsung diterima di AKABRI Darat di Magelang. Selepas pendidikan di AKABRI Darat pada bulan Pebruari 1983 sekitar tiga tahun enam bulan dengan memperoleh kualifikasi Dasar Kecabangan Kavaleri dan Dasar PARA yang diselesaikan pada akhir pendidikan, selanjutnya ditugaskan di lingkungan Kodam XIV/ Hasanuddin di Ujung Pandang (sekarang Kodam VII/Wirabuana di Makassar). Berbagai jabatan telah dialami selama di Kodam VII/Wrb mulai dari Danton, Danki, Kasi Intelijen ( sekarang Pasi Intel), Pasi Operasi Yonkav 10/serbu. Selama di Yonkav 10/Serbu berkesempatan mengikuti Suspa Intelpur di Pusdik Intel Pusbangsisops TNI AD di Ciomas Bogor tahun 1986 dan Kursus Intensif Bahasa Inggris (KIBI) tahun 1988 di Pusbahasa Hankam Jakarta. Setelah selesai mengikuti Suslapa II Kav di Pusdikkav Padalarang bulan Januari 1992, selanjutnya menjabat sebagai Kasi Renopsdik Bagdiktukbangum Sdirbindiklat Pussenkav TNI AD. Pada bulan September 1994 setelah mengikuti Penataran Calon PBU Pengganti selanjutnya dipercaya sebagai Pembantu Atase Pertahanan RI di KBRI Tokyo, Jepang hingga bulan April 1998. Setelah menyelesaikan Susreg ke XXXVI Seskoad tahun 1998/1999 selanjutnya dipercaya sebagai Kasi Intelijen Korem 102/Pp Kodam VI/Tpr. Jabatan Dandim 1016/Plk secara definitif mulai 1 Oktober 2000 sampai sekarang. Tanda kehormatan yang dimiliki berupa Satya Lencana Kesetiaan VIII Tahun.
__________________________


Palangka Raya, 9 September 2001





PROSPEK PEMBINAAN TERITORIAL
DI MASA DEPAN
( SEBUAH HIMPUNAN KARANGAN MILITER KOREM 102/PP )


DISUSUN OLEH :
LETKOL KAV I WAYAN MIDHIO













Papangka Raya, 9 September 2001


DAFTAR ISI


“ UPAYA PENINGKATAN PELAKSANAAN
PEMBINAAN TERITORIAL DI WILAYAH
KOREM 102/PANJU PANJUNG “


“ MEKANISME HUBUNGAN KOTER DENGAN INFRA
DAN SUPRA STRUKTUR DI DAERAH ”


“ KONSEPSI AKTUALISASI BINTER DALAM RANGKA MENYIAPKAN KETAHANAN WILAYAH “


“ UPAYA KOTER DALAM RANGKA
MENDORONG FUNGSI PENERANGAN, OLAH RAGA DAN SOSIAL DI DAERAH “


“ KEWENANGAN SATUAN TERITORIAL
DALAM MENGHADAPI KEADAAN DARURAT
DI WILAYAH “


“ STUDY KASUS KERUSUHAN ANTARETNIS
DI KALIMANTAN TENGAH “

--------------------------------------------



















[1] Kalimantan Tengah Dalam Angka, Tahun 1998 Hal 3…
[2] Ibid Hal 4….
[3] Ibid Hal 9….
[4] Ibid Hal 9…..
[5] Ibid. Hal 236…..
[6] Ibid Hal 246…..
[7] Ibid Hal 138…..
[8] Ibid Hal 176.
[9] Ibid Hal 204
[10] Ibid Hal 205.
11 Konflik Etnis di Indonesia, Prof. Selo Sumarjan, Hal 17

12 Laporan Tahunan Korem 102/Pp Tahun 2000.

13 Hasil Ketetapan MPR RI Tahun 2000.
[11] Ibid, Hal 84.
[12] Ibid Hal - 10
[13] Kalteng Dalam Angka Tahun 1998 Hal 19.
[14] Laporan Tahunan Korem 102/Pp.
[15] Ibid
[16] Lembaran Negara RI Tahun 1960 Nomor : 1-177 Hal 208-211.
[17] Ibid Hal 211

[18] UUD 1945
[19] Tap MPR RI Nomor : VII Tahun 2000.
[20] Tap MPR RI Nomor :VITahun 2000
[21] Tap MPR RI Nomor VII Tahun 2000.
[22] UU RI Nomor : 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi, Hal
[23] UU RI Nomor : 22 Tahun 1999 tentang Pemda Hal - 9.

[24] Ibid Hal 24…
[25] UU RI Nomor : 20 Tahun 1982 Pasal 40 (1) Hal - 54.
[26] Ibid Hal - 54.
[27] Ibid Hal - 81
[28] Ketetapan MPR RI Nomor : VII Tahun 2000
tentang Peran TNI dan Polri Hal- 86
[29] UU RI Nomor : 28 Tahun 1997 tentang Polri Hal - 10.

No comments: